Mayra sudah menandaskan soto, dan minum teh hangat saat si penjaga warung berkata gembira. "Neng, Pak Gito sudah datang!"
Mayra bergegas membayar harga makannya. Mengelap mulut dengan tisu dan setengah berlari menyeberangi jalanan. Ia tiba terengah-engah di depan penjaga sekolah.
"Pak, masih ingat saya?" tanyanya.
Gito mengangguk. "Tentu saja, mamanya Cantika."
"Iya, Pak. Saya ingin masuk bisa, Pak?"
"Oh, silakan, Neng. Hari ini katanya ada rapat guru jadi anak-anak dipulangkan jam 10.30. Kebetulan kalau datang jemput."
Mayra mengangguk. "Makasih, Pak!"
Pintu gerbang dibuka, Mayra melesat masuk dan melangkah cepat menyusuri koridor mencari ruang kelas anaknya. Masih belajar, belum ada yang keluar. Ia menunggu di bawah pohon, mengawasi pintu yang menutup. Beberapa orang tua yang hendak menjemput mulai berdatangan. Mayra terlonjak di tempatnya berdiri dengan tidak sabar. Ia berdoa, semoga bisa membawa Cantikan pergi tanpa diketahui orang lain.
Sepuluh menit kemudian, pintu kelas terbuka. Mayra mendekat, mencari-cari sosok anaknya di anatra banyaknya anak kecil yang berhamburan keluar. Beberapa pengasuh berseragam mendekati pintu dan Mayra terbelalak saat melihat anaknya digandeng keluar oleh gadis berseragam merah. Ia memekik keras.
"Cantika, Sayang. Ini mamaaa! Cantikaa! Ini mama!"
Cantika mencari-cari suaranya dan bola matanya berbinar saat menemukannya. "Mamaa!"
Gadis kecil itu menyentakkan tangan pengasuhnya. Berlari ke arah Mayra dan masuk ke dalam pelukan sang mama.
"Mamaaa! Cantika kangen! Cantika mau ikut Mamaa!"
Mayra mendekap anaknya kuat-kuat, air matanya berlinang. Ia membawa Cantika berdiri di dekat pohon yang sepi.
"Coba lihat wajahmu, Sayang. Aduh, maaf kangen."
"Mama, kemana aja. Cantikan takut."
"Mama kerja, cari uang. Biar kita bisa bersama."
Cantika mengangguk. "Cantika maunya sama Mama, nggak mau sama Tante. Dia, galak."
Mayra mengedip, mengusap rambut, wajah, dan bahu anaknya. Ia tertegun saat melihat kulit anaknya yang kemerahan di sekitar pergerlangan tangan.
"Tanganmu kenapa luka-luka, Sayang?"
Cantika menggeleng, raut wajahnya sendu dan sepertinya hendak menangis. "Sakit, Mamaaa."
"Sakitt, aduh. Kenapa, Sayang? Jatuh?"
"Nggak."
"Kena apa? Main sama teman lalu luka?"
Cantika lagi-lagi menggeleng. "Karena Tante."
Mayra terkesiap, darahnya berdesir dan rasa kaget membuatnya terperenyak. "Ka-karena, Tante? Dia memukulmu?"
"Nggak, Ma. Ditali."
Hati Mayra hancur seketika. Ia meraup Cantika dalam pelukan dan menangis tersedu-sedu, memikirkan nasibnya yang buruk. Ditendang oleh suaminya sendiri, terlunta-lunta tidak punya tempat tinggal, dan kini harus menghadapi kenyataan kalau anaknya dianiaya orang lain. Kesedihan yang mendera, membuatnya tidak peduli dengan sekitar. Ia hanya ingin memeluk Cantika, merasakan denyut jantung anaknya. Ia menyalahkan diri sendiri, sebagai ibu tidak mampu menjaga anaknya dengan baik.
"Hei, siapa kamu! Lepaskan Cantika!"
Suara hardikan membuat Mayra menengadah. Gadis berseragam biru menudingnya dengan pandangan mata penuh permusuhan.
Mayra berdiri, menggandeng Cantika. "Dia anakku. Siapa kamu?"
Pengasuh itu menaikkan dagu. "Kamu bohong! Cantikan anak Nyonya Dira. Lepaskan dia!" Gadis itu menatap Cantika dan berkata dengan suara lembut yang dibuat-buat. "Cantika, ayo, ikut aku."
Cantika menggeleng. "Nggak mau! Cantika mau ikut Mama."
"Nggak bisa. Cantika harus pulang!"
"Nggak mau!"
Gadis itu merengsek maju, berusaha meraih tangan Cantika tapi Mayra menepiskannya. Keduanya berdiri berhadapan.
"Eh, kamu hanya pengasuh, tapi gayamu sok sekali. Cantika itu anakku, dia mau ikut aku. Emang ada hak apa kamu melarangnya!"
"Dia nggak ada hak, tapi aku ada!"
Dari ujung lorong, Dira muncul bersama seorang laki-laki. Mayra tidak mengenalnya dan tidak peduli. Ia mempererat genggaman di jemari Cantika.
"Hallo, Dira. Si pelakor tak tahu malu, yang ternyata sudah menikah dengan Adam yang tidak berguna itu," ucap Mayra tajam.
Wajah Dira menggelap, detik berikutnya tersenyum. "Terserah apa katamu, Mayra. Yang pasti, rumah itu menjadi milikku sekarang, termasuk suami dan anakmu."
"Nggak tahu malu. Merasa orang kaya tapi menepati rumah gubuk!" desis Mayra.
"Ah, masalahnya aku suka dengan gubuk kalian itu. Bisa saja aku membeli rumah yang besar, tapi aku ingin menyingkirkan bayanganmu dari rumah itu. Sekarang, serahkan anakku!"
"Jangan harap! Cantika anakku. Dia berhak menentukan, ingin ikut siapa."
Mayra meraih tubuh Cantika dan menggendongnya di punggung. "Pegangan yang erat, Sayang. Jangan dilepas apapun yang terjadi.
"Iya, Mama." Cantika mengalungkan lengan kecilnya di leher Mayra.
Dira menatap lekat-lekat pada Mayra dan anaknya. "Cantika, ayo, Sayang. Kita pulang."
Cantika menggeleng, dari punggug Mayra. "Nggak mau. Cantika mau ikut, Mama."
"Mana mungkinn anakku mau ikut sama perempuan yang suka menganiayanya. Suatu saat aku akan mengadukan perbuatanmu pada polisi!" teriak Mayra.
Senyum menghilang dari bibir Dira. Ia menoleh pada laki-laki di sampingnya dan berkata keras.
"Ambil anak itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...