Merasa terlalu dingin, ia bangkit untuk menyetel suhu ruangan. Berdiri di dekat jendela, dan mengamati halaman rumah sakit yang penuh dengan kendaraan. Menghela napas panjang, Mayra menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering, ia lupa jam berapa terakhir minum. Ponsel di atas meja bergetar, Mayra menatap nama pemanggil yang tertera di layar. Ia membawa ponsel ke toilet dan menerima panggilan di sana.
"Hallo."
"Mayra, bagaimana keadaan Dion?" Suara Grifin terdengar berat. Laki-laki itu tahu kondisi Dion pasti dari sang kakek.
"Belum sadar." Ia menjawab lirih.
"Apa kata dokter?"
"Belum ada, lagi nunggu hasil pemeriksaan."
"Kamu bisa sendiri? Kalau perlu ditemani, ada Tina."
"Nggak, aku bisa sendiri. Terima kasih."
"Mayra, kalau ada perkembangan baru, tolong secepatnya kasih tahu aku."
"Tentu, aku pasti mengabari."
Mereka tidak banyak bicara. Grifin menyudahi pembicaraan dan berpesan agar Mayra menghubunginya kapan saja begitu ada berita soal Dion. Selesai menelepon, Mayra dikejutkan dengan kadatangan Tina. Perempuan berambut pirang itu menghampiri ranjang Dion dengan mata merah.
"Pulang kerja aku langsung datang," bisik Tina.
"Sudah malam padahal."
Tina menggeleng. "Nggak peduli. Aku terlalu kuatir. Baru kali ini Dion pingsan."
Mayra mengangguk. "Memang, selama ini dia batuk-batuk tapi setiap kali diajak periksa nggak mau. Terakhir, aku lihat ada ceceran darah di lantai kamar mandi."
Tina terperangah, mulutnya ternganga ngeri. "Apa? Ke-kenapa bisa begitu?"
Mayra menggeleng. "Nggak tahu. Kami rencana mau ke rumah sakit besok. Ternyata, malam ini Dion pingsan."
Tina mengusap pipi Dion dengan penuh kasih sayang. Hatinya sakit melihat sahabat terbaiknya yang biasa selalu ceria, terbaring lemah dengan wajah pucat di atas ranjang. Ia meyayangkan diri terlalu sibuk, hingga lupa memperhatikan sahabatnya.
"Dion pucat dan lemah."
Mayra mengangguk, sependapat dengan Tina. Suaminya memang terlihat tidak berdaya, tubuhnya terbaring lemas seolah tidak ada darah yang mengalir di pembuluh.
"Semoga hanya anemia," bisik Mayra.
"Kita berharap begitu."
Tina dengan cekatan merapikan selimut Dion. Mayra memperhatikan penampilan Tina yang acak-acakan. Rambut pirangnya yang biasa tergerai, dikuncir kuda. Di wajahnya ada sisa-sisa make up yang mulai terhapus, dengan mata yang reduh. Bisa dilihat kalau sebenarnya Tina sangat lelah. Karena terlalu kuatir dengan Dion, maka pulang kerja langsung datang ke rumah sakit. Persahabatan mereka memang luar biasa tulus.
"Tadi Grifin menelepon," ucap Mayra.
Tina mengangguk. "Dia juga meneleponku. Ingin buru-buru terbang kemari, tapi tidak bisa karena terikat kontrak perusahaan. Mungkin akan datang minggu depan."
Mayra terdiam, merasa sangat ironis. Teman-teman Dion justru lebih perhatian dan lebih kuatir dari pada keluarga sendiri. Ia yakin kalau Damar sudah memberitahu keluarga yang lain soal kondisi Dion, nyatanya tidak ada satu pun yang bergegas datang untuk menjenguk.
Tina memalingkan wajah, menatap Mayra yang menunduk. Ia meraih tangan Mayra dan membawanya duduk di sofa. "Ada keributan apa malam ini? Kata Kakek, Peter datang ke restoran?"
Mayra mengangguk. "Iya, bersama Andini."
"Ah, pasangan sialan. Apa mau mereka?"
Mayra menggeleng sedih. Mengusap dahinya. "Mereka ingin restoran, maksudku Peter ingin ikut mengelola restoran."
Tina mengepalkan tangan dan memaki pelan. "Fuck! Saudara bajingan memang! Lalu? Perempuan gila itu, apa yang dilakukannya?"
"Mendukung apa pun yang dikatakan dan diingin Peter."
"Hebat! Memang pasangan yang serasi. Pantas saja mereka cocok satu sama lain."
"Peter beberapa kali datang ke rumah. Awalnya, ingin Dion kembali mengelola perusahaan. Karena suamiku nggak mau. Sekarang keinginannya berganti."
Tina mendesah, menyandarkan tubuhnya pada sofa. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Sekelebatan ingatan tentang pemuda angkuh yang beberapa kali ditemuinya, terbayang di pikiran."Aku kenal Peter, nggak terlalu akrab. Kurang suka karena bocah itu sangat sombong. Dikiranya, megang kekuasaan perusahaan itu mudah. Anti kritik dan sering terlibat pertengkaran dengan Dion. Setiap kali itu terjadi, Peter akan selalu dibela sang papa."
"Anak manja, terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkan."
"Memang, karena itulah Dion kurang cocok dengan keluarga baru papanya. Ia merasa mereka semua terlalu manja dan boros."
Mayra mendesah, menatap suaminya yang masih terbaring diam. Dion yang baik pada semua orang, dan selalu mengalah. Pada akhirnya menyerah karena keluarganya yang tidak bisa menghargai pekerjaannya. Mayra berharap, setelah sembuh nanti, suaminya lebih banyak istirahat dan tidak banyak berpikir yang berat-berat.
Pintu diketuk dari luar. Seorang suster mengatakan kalau Mayra ditunggu di ruang dokter. Mayra menitipkan Dion pada Tina, sementara ia pergi. Melangkah cepat, ia menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Mencapai ruangan dokter dan masuk bersama seorang suster yang sudah menunggunya di depan pintu.
"Selamat malam, Dok."
Seorang dokter laki-laki berumur enam puluhan dengan rambut memutih, mempersilakannya duduk tanpa senyum. Dokter itu memberi penjelasan panjang lebar tentang penyakit Dion. Semakin banyak yang dikatakan, semakin berat dada Mayra. Ia berusaha menahan tangis, berusaha untuk tetap tegar di depan sang dokter.
Kembali ke kamar suaminya dengan tubuh lunglai, Mayra berdiri cukup lama di depan pintu. Air matanya runtuh, dan terisak tak terkendali. Jemarinya terasa berat untuk membuka knop pintu. Ia mendongak saat Tina muncul dari pintu yang terbuka. Perempuan itu memandangnya heran.
"Mayra, ada apa? Kenapa nangis?"
Mayra menubruk Tina, mengalungkan lengannya di leher sahabat suaminya dan meraung. "Su-suamiku, kangker paru-paru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...