Di sebuah bangunan yang cukup tua yang terletak agak tersembunyi dari jalan utama, dua laki-laki sedang duduk berhadapan di meja kaca. Musik jazz mengalun, di antara denting peralatan makan. Para pelayan mondar-mandir, sibuk dengan pekerjaan mereka. Sekilas, orang tidak akan tahu kalau bangunan itu merupakan restoran, kalau tidak melihat papan nama di atas pintu kayu, "Blue Bistro".
Seorang laki-laki yang lebih muda, dengan tubuh kurus dan berkacamata, menatap temannya. Di tangannya ada segelas jus, yang ia teguk perlahan.
"Bagaimana menurutmu?" tanyanya.
Si teman, laki-laki tampan dengan rambut kecoklatan bertubuh tinggi serta lebih berisi, mengeluarkan rokok dan menyulutnya. Mengedarkan pandangan pada sekeliling restoran. Suasana tidak terlalu ramai, meskipun di Sabtu malam.
"Secara tempat, not bad. Cukup bagus dengan mempertahankan bangunan asli. Kesan klasik dan etnik benar-benar terasa dari pintu masuk."
"Benar, itu tujuanku. Lalu, apa lagi? Aku tahu kamu pasti punya banyak pendapat."
Si laki-laki berambut coklat tersenyum. "Haruskah aku jujur."
"Ayolah, Grifin. Kita sudah kenal berapa lama? Apa susahnya kamu memberitahuku tentang restoran ini."
"Bro, makanannya terlalu biasa saja. Sop buntut, iga bakar, itu bisa kamu dapatkan di mana saja. Dan nggak ada menu unggulan."
Dion mengakui kebenaran ucapan Grifin, menghela napas panjang dan meneguk jusnya perlahan. "Itulah kelemahanku. Susah payah aku ingin mendapatkan restoran ini, bergonta ganti koki. Kakek sangat tidak sabaran, mengatakan padaku kalau dalam satu tahun restoran tidak ada perkembangan, dia akan menutupnya dan memintaku kerja di perusahaan. Gila rasanya, bagaimana aku bisa kerja di perusahaan?"
Grifin mengernyit. "Kenapa nggak?"
Dion mendadak batuk-batuk dengan hebat. Napasnya sedikit tersengal. Ia meminta segelas air putih pada pelayan dan meneguk perlahan. Grifin mematikan rokok, takut kalau asap membuat sahabatnya batuk.
"Kamu sakit?" tanya Grifin.
Dion menggeleng, menghela napas panjang. Terbatuk kecil, sebelum akhirnya benar-benar hilang. "Nggak, tadi tersedak sesuatu."
"Asap?"
"Ehm, bisa jadi. Kembali ke pembicaraan kita tadi. Bayangkan, aku diminta kakek meneruskan perusahaan, Ngerti apa aku?"'
Grifin tersenyum, mengetuk permukaan meja. "Kamu bisa, dan kamu mengerti banyak hal. Hanya saja, kamu nggak mau capek mikir. Nggak masalah, semua orang punya keputusan masing-masing. Contohnya sekarang, sepupuku si Tina itu. Apa kamu tahu suaminya terlibat kejahatan? Sepertinya korupsi dan dia bertahan untuk tetap mendampingi suaminya yang jelas-jelas orang brengsek. Itu keputusan yang sudah dia buat, sama seperti kamu. Jangan melakukan sesuatu yang membuatmu, terpaksa. Lakukan hal yang menurutmu menyenangkan."
"Kalau begitu, aku harus bekerja keras untuk restoran ini," gumam Dion.
"Baru satu Minggu, masih banyak waktu. Kakek memberimu satu tahun penuh. Fighting!"
Dion tersenyum, mengangkat gelas air putih. Yang dikatakan Grifin benar, masih terlalu awal untuk merasa takut. Ia harus berjuang, dan bukannya menyerah begitu saja.
**
Pertengkaran antara Mayra dan Adam terdengar hingga ke telinga sang mama. Yuna datang mengunjungi rumah mereka. Perempuan setengah abad itu, menatap kaget pada benda-benda rusak di ruang tamu. Pigura yang retak, panjangan yang hancur dan guci yang retak. Ia menatap Mayra yang duduk di sofa dengan wajah pucat.
"Kemana Cantika?" tanya Yuna.
"Di sekolah."
"Bagus, dengan begitu dia nggak perlu dengar omongan kita." Yuna mengenyakkan diri di samping meanntunya. Wajah pucat dan rambut Mayra yang kusut membuatnya prihatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...