Damar menatap bergantian pada Dion dan Mayra. Ia sedang tidur siang saat dibangunkan Dion. Cucunya itu mengatak ada hal penting yang ingin disampaikan dan tidak menyangka akan melihat Mayra di sini. Ia mengenal Mayra sebagai koki terbaik di restoran cucunya. Perempuan lembut dan baik hati yang berhasil membuat restoran ramai kembali. Kenapa dia datang ke rumahnya? Apakah terjadi sesuatu dengan restoran?
"Kek, udah beneran bangun belum?" tanya Dion.
Damar mengangguk, duduk di sofa menahan kuap. Pelayan datang membawa teh tawar hangat untuknya dan ia meneguk perlahan. "Kakek udah beneran bangun. Ada apa, Dion? Kenapa Mayra ada di sini?"
Mayra meremas jemarinya. Ia melirik Dion yang ternyata sama gugupnya dengan dirinya. Ia sedikit cemas kalau semua rencana akan gagal hari ini. Bagaimana kalau kakek menolak rencana pernikahan mereka? Apakah dirinya masih bisa menjadi koki di restoran kalau seandainya gagal menikah? Mayra tahu dirinya tidak setara dengan Dion, dalam hal apa pun. Dan ia menyesali diri, sudah berani datang untuk meminta restu.
Dari ujung mata ia bisa melihat Dion mengusap-usap lutut. Ia pun akan melakukan hal yang sama kalau tidak ingat sedang berada di mana. Ia bahkan merasa sangat-sangat gugup, dan ingin lari dari ruang tamu ini.
Semenjak ia mengatakan pada Dion ingin menikah, laki-laki itu bertindak sangat cepat. Merencanakan detil pernikahan dari mulai pesta, pakaian pengantin, dan hal lainnya. Belakangan, baru mengajaknya menemui kakek. Mayra merasa perutnya mendadak mulas yang tidak ada hubungannya dengan buang air besar.
"Kek, aku ingin bicara penting." Dion bertutur perlahan.
Damar mengangguk. "Ada apa?"
"Itu, anu, aku ...." Dion menghela napas panjang, meraih jemari Mayra dan memperhatikan mata sang kakek yang melebar. "Ingin menikah dengan Mayra."
Damar terkesiap bingung. "Apa? Maksudmu bagaimana?"
"Menikah, Kek. Aku dan Mayra akan menikah!"
Rasanya seperti tersambar petir, Damar menatap Dion dan Mayra tidak mengerti. Mulai kapan mereka berhubungan? Kenapa ia tidak tahu masalah ini? Ia menyangka cucunya sedang bercanda, tapi raut wajah Dion sangat serius. Mengalihkan pandangan pada Mayra, ia mengamati bagaimana perempuan itu menunduk dengan wajah memucat. Ada apa ini? Apakah terjadi sesuatu?
"Dion, kamu sedang bercanda?" tanyanya hati-hati.
Dion menggeleng cepat. "Nggak, Kek. Dion serius. Ingin menikah dengan Mayra."
"Kamu tahu Mayra siapa?"
"Iya, koki sekaligus temanku."
"Kenapa mendadak? Apa kalian melakukan sesuatu? Mayra hamil?"
Lagi-lagi Dion menggeleng. "Nggak, Kek. Mayra nggak hamil. Dia baik-baik saja, kami ingin menikah karena cinta, bukan karena hal lain."
Damar kehilangan kendali dan menepuk meja dengan keras, membuat Mayra terlonjak di tempatnya. Ia menuding Dion dengan geram. "Kamu lupa, Dion? Kamu sudah dijodohkan dengan Andini!"
"Aku nggak lupa, tapi Kakek juga tahu kalau aku nggak suka sama perempuan itu!" jawab Dion keras kepala.
"Oh, kamu nggak suka lalu seenaknya membawa perempuan lain begitu? Mau ditaruh di mana mukaku kalau sampai rencana pernikahanmu dengan Andini gagal?"
Dion menatap kakeknya dengan tidak sabar. Ia merasakan jemari Mayra meremasnya ringan. Menghela napas panjang, ia tahu sedang diingatkan untuk bicara sopan dan menahan diri. Mayra benar, yang dihadapi adalah orang tua yang telah membesarkannya. Apapun yang terjadi, tidak boleh kasar, dan Dion tidak akan melakukan itu.
"Kek, sebenarnya apa yang lebih penting untukku menurut Kakek? Menikah dengan perempuan yang aku tidakj sukai dan terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan selama bertahun-tahun, atau menikah dengan perempuan yang aku sukai dan bahagia meskipun hanya sebentar?"
Damar menggelengkan kepala. "Kamiu bicara apa? Kenapa memberi pertanyaan murahan begitu?"
"Ini bukan pertanyaan murah, Kek. Ini soal hidupku. Pernikahan yang aku impikan yang terjadi hanya sekali seumur hidup, bersama perempuan hebat yang akan menyayangiku sampai ajal menjemput."
"Bicaramu seperti orang mau mati saja!" bentak Damar. "Sekarang kamu diam, biar aku tanya sama Mayra." Ia mengalihkan pandangan pada Mayra yang sedari tadi terdiam menunduk. "Mayra, kenapa kamu ingin menikah dengan Dion? Kenapa kamu jadi pelakor?"
"Kakek! Aku dan Andini belum menikah!" sela Dion keras.
"Kamu diam, Dion! Biar Mayra yang menjawab!"
Mayra melepaskan jemarinya dari genggaman Dion. Mengangkat wajah, berusaha untuk tetap tenang. Yang dihadapinya kini, bukan orang tua biasa. Ia harus hormat dan tidak boleh salah bicara.
"Pak, saya ingin punya keluarga utuh dengan suami dan anak."
Jawaban Mayra tidak memuaskan Damar. "Hanya itu, Mayra? Kamu ingin menikah dengan Dion hanya karena ingin punya keluarga utuh?"
Untuk kali ini Mayra mengangguk. "Iya, Pak. Hanya itu. Dari kecil saya sebatang kara, tidak punya orang tua dan kerabat. Rasanya tidak menyenangkan. Pak Damar juga tahu, bagaimana kondisi pernikahan saya yang pertama." Ia menatap Dion dan tersenyum penuh terima kasih. "Tapi, Dion sangat baik. Tidak peduli bagaimana pun masa lalu saya, dia menerima apa adanya."
Damar menggeleng lalu memejam. Memijat kepalanya yang mendadak pusing. Ia mengenal Mayra memang belum lama, meskipu begitu tahu kalau Mayra adalah perempuan yang baik. Tapi, status sebagai janda anak satu, bukanlah hal yang baik kalau menikah dengan cucu kesayangannya. Ia menginginkan Dion menikah dengan Andini, cucu sahabatnya. Sama-sama dari keluarga baik-baik dan masih sendiri. Ia tidak menyangka kalau Dion tega melakukan ini padanya.
"Bagaimana kalau aku nggak setuju dengan pernikahan kalian?" ucap Damar perlahan.
Mayra menghela napas lalu menunduk. Tidak punya daya untuk menjawab. Dion justru sebaliknya, meraih tangan Mayra dan meremasnya lembut. Menatap sang kakek sambil berkata lantang.
"Kami akan kawin lari!"
"Apaaa?"
Yang kaget bukan hanya Damar, bahkan Mayra pun tercengang. "Tu-tunggu, kamu bicara apa?"
Dion mengangkat bahu, tersenyum senang. "Aku akan mengajakmu kawin lari kalau Kakek nggak setuju dengan pernikahan kita."
"Dion, kamu gila?" desis Mayra.
"Memang, aku tergila-gila padamu!"
Damar yang tidak tahan dengan tingkah cucunya, meraih tongkat dari samping kursi. Bangkit perlahan dan memukuli Dion.
"Kek! Sakiit!"
"Anak kurang ajar. Cucu nggak tahu diri! Bisa-bisanya kamu ingin membuatku darah tinggi. Hah, kamu mau aku mati!"
Dion melindungi kepalanya. "Kek, dengarkan dulu. Aku belum selesai bicara." Ia mulai terbatuk.
Mayra reflek ingin mengusap punggung Dion, tepat saat tongkat bergerak memukul. Tanpa diduga, Mayra menutupi Dion dan tak ayal lagi, kepalanya kena pukul.
"Kakek memukul Mayra?" teriak Dion.
Damar menggeleng lalu kembali duduk di dursi dengan tersengal. Menatap Mayra yang sibuk ,mengusap punggung Dion. Cucunya itu sedang batuk-batuk.
"Uhuk, May. Sakit, ya? Uhuk!"
"Udah, jangan emosi. Minum dulu, tarik napas!" ucap Mayra lembut.
"Tapi, May. Kepalamu pasti sakit."
"Kepalaku baik-baik saja. Kita sudah bikin Pak Damar marah, sudah sewajarnya dipukul."
Damar mendengarkan dalam diam, bagaimana Dion berbicara dengan Mayra. Cucunya itu, tidak pernah dekat dengan perempuan manapun, kecuali Tina tentu saja. Dion yang pendiam, lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Berinisitif menjodohkannya dengan Andini karena tidak ingin Dion seorang diri menjalani hidup, saat dirinya mati nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...