Mayra tidak tahu, kenapa langkahnya justru menuju restoran. Seharusnya ia pulang, berbaring dan istirahat. Tapi, kakinya menolak. Tanpa disadari, ia berdiri di depan dapur, menatap para pekerja yang lalu lalang dengan nampan. Restoran ini, kehadirannya ternyata jauh lebih berharga dari yang ia sangka. Di sini bukan hanya tempatnya bekerja tapi juga rumahnya. Mayra tidak tahu, apa yang akan terjadi seandainya ia tidak bekerja di sini.
Ia sangat menyukai suasana di sini. Celoteh para tamu yang menikmati hidangan. Jerit tawa pengunjung anak-anak. Kesibukan di dapur, dan lalu lalang para pelayan. Aroma masakan berbaur di udara yang sejuk, seolah menciptakan kekuatan untuk menyebarkan rasa bahagia melalui embusan angin yang membawa wangi rempah. Mayra menghela napas, mencoba untuk melonggarkan dadanya yang sedari tadi terasa sesak.
"May, ngapaian kamu? Bukannya libur?"
Teguran Dion membuat Mayra terperenyak. Ia menoleh dan tersenyum. Wajah Dion yang tampan dan meneduhkan, entah kenapa membuat hatinya tersentuh. Laki-laki itu sangat baik padanya, seperti Adam dulu. Ia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia, dan Dion adalah salah satu orang yang bisa menyangga hidupnya. Memikirkan hal itu, membuat tenggorokannya terasa sakit dan ia berbisik lirih, menahan tangis.
"Dion, anakku-dia ... nggak bisa diambil."
Tangis Mayra pecah. Dion menatapnya penuh keprihatinan.
"Mayra, masuk ke kantor. Aku ingin bicara."
Mayra mengangguk, menahan tangis dan mengikuti langkah Dion. Sesampainya di kantor laki-laki itu, aroma jeruk dari pengharum ruangan menyergap penciumannya. Ia duduk di sofa panjang, berhadapan dengan Dion yang mengulurkan sekotak tisu.
"Jangan nangis, ceritakan apa yang terjadi."
Mayra cegukan, dengan pelahan mulai bercerita. Dimulai dengan Cantika yang direbut dari pelukannya, dan juga ketakutan sang anak akan Dira.
"Aku melihat kulitnya merah-merah. Sepertinya, dia dianiaya."
Dion mengangguk. "Sepertinya benar. Ngomong-ngomong kamu ada bukti pemukulan dari suamimu dulu?"
Mayra menggeleng. "Ada, tapi ponselku hilang."
"Oh ya, kamu nggak ada ponsel." Dion bangkit dari sofa, membuka laci meja dan mengeluarkan kotak kuning. "Aku beli ini untuk kamu. Bukalah."
Mayra menerima dengan tercengang. "Dion, ini ponsel baru."
Dion merngangguk. "Memang, kamu pakai. Biar kita mudah komunikasi."
"Ta-tapi, aku nggak ada uang buat bayar."
"Gampang, bisa potong gaji."
"Gajiku sudah dipotong untuk kontrakan, dipotong pula untuk hape. Lama-lama aku nggak terima gaji."
Gerutuan Mayra membuat Dion tergelak. "Lagian, aku tawari kamu tinggal di belakang restoran tapi kamu nggak mau."
Mayra menghela napas, menatap Dion dengan luapan kasih sayang. "Terima kasih, kamu baik sekali. Sebenarnya, aku nggak mau berutang. Tapi, kamu benar, aku memang butuh ponsel."
"Bagus, karena aku juga orangnya enggan basa-basi. Sini, aku bantu pasang kartunya."
Dion membuka kotak dan mengeluarkan ponsel warna biru. Laki-laki itu menunduk dengan wajah serius. Mayra mengamati diam-diam, bentuk wajah Dion yang oval. Seandainya Dion mau sedikit saja menggrmukan badan, pasti akan terlihat jauh lebih tampan. Sayangnya, tubuh Dion yang kurus terlihat ringkih seperti orang yang sedang sakit.
"Dion, aku mau ketemu pengacara itu."
Dion mengangkat wajah, meraih ponselnya sendiri dan melakukan panggilan singkat.
"Dia akan datang sebentar lagi."
Mayra dibuat tercengang dengan kecepatan Dion bertindak. "Terima kasih, kebaikanmu nggak akan pernah aku lupain."
"Mayra, aku membutuhkan tenagamu di restoran ini. Kamu adalah koki andalanku, tentu saja aku harus memanjakanmu, biar nanti kerjamu makin semangat."
Mayra mengarahkan pandangan ke jendela luar, menatap ruangan kosong di samping gudang. Ia memikirkan tentang Nirmala dan sikap tak ramah sahabatnya itu. Mayra menimbang-nimbang kesempatan untuk mengambil tawaran Dion. Mungkin saja, tinggal di belakang restoran akan banyak membantunya dan juga, menjauhkan pertengkaran serta perdebatan dengan Nirmala.
"Dion, aku terima tawaranmu."
Dion mengangkat wajah dari ponsel baru. "Yang mana?"
"Itu, tinggal di ruang belakang. Aku punya rencana, kalau nanti Cantika bisa bersamaku, kami bisa tinggal di sana akan lebih aman dan nyaman untuknya. Itu, kalau kamu nggak keberatan."
Dion memberikan ponsel yang baru selesai terpasang. "Aku udah masukkan nomor ponselku. Coba telepon."
Mayra mencari satu-satunya nomor telepon yang tersimpan dan memanggil. Tersenyum saat mendengar ponsel Dion bergetar.
"Terima kasih, catat saja utangku berapa. Jangan-jangan seumur hidup baru kebayar."
Dion mendesah, menunjuk ruang belakang. "Tinggal saja di situ, kapanpun kamu mau. Kamu perlu membersihkannya. Untuk kasur dan lain-lain, bisa beli nanti."
Mayra menggeleng. "Nggak, aku punya kasur dan barang-barangku nggak banyak. Tas aja cukup."
"Baiklah, sesukamu Mayra. Anggap saja restoran ini rumahmu."
Sebelum Dion mengatakan hal itu, Mayra memang menganggap restoran ini sebagai rumahnya. Baginya, Dion bukan hanya seorang boss tapi juga penolong dan sekaligus teman. Kalau ada malaikat di dunia nyata, Dion pasti salah satunya. Laki-laki dengan sayap putih dan hati bersih.
Obrolan mereka terjeda saat pengacara datang. Dion tidak pergi kala Mayra berkonsultasi dengan pengacara soal perceraian. Pengacara itu akan membantu mengurus surat-surat agar segera masuk sidang. Bagi Dion, semakin cepat Mayra bercerai, akan semakin baik bagi perempuan itu. Terlebih kalau bisa mengasuh Cantika. Ia memang belum pernah bertemu bocah perempuan itu, tapi sudah merasa sangat sayang dan rela kalau harus membantu Mayra membesarkannya. Sebuah pikiran yang aneh dan Dion merasa heran dengan diri sendiri.
**
"Cantika, Sayang. Kamu di mana? Papa bawa oleh-oleh!"
Adam yang baru saja pulang, bergegas menuju ruang tengah dan langkahnya terhenti saat mendengar suara Dira.
"Cantika sedang tidur. Kamu bawa oleh-oleh apa?"
Adam mendekati istrinya, mengecup kening dan menunjukkan kantong putih. "Martabak. Cantika sangat suka martabak manis coklat. Buat kamu ada keju susu."
Dira mengernyit, meraih kantong putih. "Mulai kapan aku suka keju susu?"
"Loh, bukannya setiap beli martabak kamu mintanya keju susu?"
"Itu kemarin, sekarang anakku maunya coklat."
Tanpa memintan ijin, Dira membuka martabak dengan isian coklat. Memakannya di depan Adam yang melongo. Ia tidak rela harus berbagi makanan dengan anak kecil nakal yang sekarang meringkuk di kamar. Mungkin sedang merintih kelaparan, karena malam ini tidak ada jatah makan untuknya.
"Kalau gitu, yang keju biar aku antar untuk Cantika."
"Jangan! Dia sudah tidur. Kasihan, jangan ganggu dia!" larang Dira. "Kamu duduk, Sayang. Aku mau bicara."
Adam menuruti permintaan Dira, mengesampingkan rasa kangennyan pada Cantika. Akhir-akhir ini ia selalu berangkat pagi buta dan pulang tengah malam, nyaris tidak ada waktu untuk melihat anaknya. Sekarang baru pukul sembilan, harusnya Cantika belum tidur. Ternyata duagaannya salah.
"Kamu mau bicara apa?"
Dira tidak menjawab, memanggil pelayan dan memberikan kotak martabak berisi keju pada mereka. "Makan, dan habiskan."
"Itu buat Cantika," sergah Adam.
"Besok beli lagi!" Dira menjawab ketus. "Jangan pelit jadi majikan!"
Adam menahan kesal, tidak terima dengan keputusan Dira. Ia sengaja membeli untuk Cantika, tapi Dira justru membagi-bagikannya. Ia menunduk, merasa tidak berdaya sebagai kepala rumah tangga di rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...