Adam menatap istrinya yang duduk sambil menyilangkan kaki. Terlihat serius mempelajari keuangan. Wajahnya yang cantik dipoles rapi, dengan bedak dan make-up. Rambutnya yang bisa panjang, kini dipotong pendek sebahu, dicar warna coklat terang yang berani. Wajah Dira memang tidak selembut dan seanggun Mayra, tapi sama-sama memancarkan kecantikan, hanya saja dengan cara yang berbeda. Setelah kematian bayinya, Dora seolah menjelma menjadi perempuan lain. Gemar bekerja, enggan di rumah, serta lebih banyak membantah dari pada dulu. Sama sekali tidak ingin mendengarkan pendapat Adam. Istrinya itu, akan menentang apa pun keputusannya, setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya menyerah. Itu pun dengan rasa marah. Sangat sulit untuk bicara dengan Dira sekarang.
Apakah orang yang mengalami kehilangan begitu besar bisa berubah drastis? Dari perempuan lembut menjadi kasar? Kalau sifat keras kepala, dari dulu Dira memang tidak mau kalah. Terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan. Bagi Adam itu bukan masalah, istrinya boleh menentang siapapun, asal tidak dengannya. Kini, semua tak lagi sama seperti dulu, Adam bahkan tidak mengerti apa yang terjadi.
"Kenapa banyak sekali masalah di pabrik? Kalian becus kerja atau nggak?" gumam Dira.
"Bukan aku yang menangani, Sayang. Tapi, kakakmu."
Jawaban Adam tidak membuat Dira puas. Menepuk-nepuk dokumen, menyatukannya di dalam map setelah menandai hal yang paling penting, Dira mengambil satu tumpukan yang lain dan kembali memeriksanya. Ia bisa berjam-jam melakukannya tanpa rasa bosan.
"Di perusahaan pun sama, bukankah kamu bagian distribusi? Seharusnya terkait juga dengan masalah produksi, kenapa kamu melemparkan tanggung jawab pada kakakku?"
Adam menghela napas panjang, bangkit dari sofa dan menatap nanar pada pemandangan luar. Malam menjelang, tapi tidak ada tanda-tanda kalau jam kerja berakhir. Dira masih sibuk, seperti enggan untuk pulang.
Adam mengakui kalau dirinya memang bagian produksi, tapi banyak hal justru diatur dan dikendalikan oleh keluarga mertuanya. Kedua kakak iparnya sama-sama brengsek dan hanya bisa berpikir bagaimana mengendalikannya. Ayah dan ibu mertuanya lebih brengsek lagi, tidak pernah menghargainya. Satu kelurga seakan berniat menentanganya. Adam hanya bisa berkeluh kesah dengan sang mama, karena hanya dia yang paling mengerti.
"Jangan dibawa perasaan, Adam. Istrimu baru saja mengalami pukulan hebat. Bisa jadi sedang depresi, Justru, harusnya kamu merawat dan menghiburnya."
"Sudah, Ma. Aku mengalah, berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Tapi, makin hari Dira makin galak dan kurang ajar."
"Kurang ajar bagaimana?" Yuna bertanya bingung.
Adam mengangkat bahu. "Seperti menghina dan memaki. Nggak pernah puas dengan apa pun yang aku lakukan, baik soal pekerjaan maupun tentang kebutuhan rumah tangga."
Yuna hanya bisa menghela napas panjang dan menatap anak laki-lakinya dengan prihatin. Sudah cukup ia menutup telinga atas gunjingan orang lain yang menganggap kalau anaknya sedang terkena karma. Akibat berlaku kejam pada Mayra dan Cantika. Yuna sendiri merasa bersalah saat tahu cucunya dibawa pergi. Ia siap membantu Adam untuk mendapatkan Cantika kembali ke pelukan mereka, tapi mendengar kalau Dira sedang depresi, ia mengurungkan niat. Tidak akan bagus bagi tumbuh kembang Cantika kalau punya mama sambung dengan emosi yang tidak stabil.
"Yang sabar, Adam. Ingat, banyak sekali yang kamu korbankan demi mendapatkan Dira. Bukan hanya rumah tanggamu yang hancur, anakmu pun pergi."
Adam mengangguk. "Semua salahku, Ma. Terlalu rajin kerja sampai lupa sama Cantika. Tapi, apa Mama percaya yang dikatakan Mayra?"
"Soal apa?"
"Dira memberi obat tidur pada Cantika?"
"Kamu yang di rumah, menurutmu bagaimana?"
"Memang agak aneh, Ma. Karena setiap kali aku pulang, Cantika pasti sedang tidur dan nggak bangun-bangun bahkan saat pagi. Sering aku menunggunya bangun, tapi terlalu lelap."
Yuna berdecak bingung, tidak ingin memberikan pendapat karena takut akan mendapatkan masalah. "Hati-hati dalam menuduh, Adam. Ingat, Dira itu istrimu dan kalian baru saja kehilangan anak."
Semua yang dikatakan mamanya, Adam mengerti. Untuk selalu menjaga perasaan Dira. Untuk lebih memperhatikan istrinya, dan menyayanginya. Ia paham dengan benar. Masalahnya, sungguh tidak mudah berurusan dengan Dira yang temperamental. Moodnya berubah setiap saat dan membuat Adam bertanya-tanya, bagaimana lagi untuk membuat istrinya senang.
"Kamu dengar nggak yang aku bilang?"
Teriakan Dira menarik kesadaran Adam. Ia menoleh, menatap istrinya tajam. "Aku nggak budek. Aku dengar semua. Masalahnya, kalian sekeluarga terus menerus melemparkan semua masalah padaku. Perlu kamu tahu, Dira. Aku bukan hanya pegawai di kantor ini tapi juga suamimu. Untuk hal kecil begitu kamu nggak ngerti? Keterlaluan kamu!"
Adam meraih tas hitam dan bersiap-siap pergi. Tidak mengindahkan Dira yang melotot.
"Adam, aku belum selesai bicara."
"Aku sudah, lagipula ini sudah jam delapan dan aku lelah! Sebaiknya kamu pulang naik mobilmu sendiri!"
Adam bergegas ke pintu, dan menghilang dengan cepat. Mengabaikan teriakan Dira yang melarangnya pergi. Ia tidak peduli kalau nanti istrinya marah. Sekarang ini, ia sudah sangat lelah dan ingin pulang. Saat berkendara di jalanan yang padat, mata Adam mengawasi warung-warung tenda yang berjajar di trotoar. Rasa lapar menguasainya. Tiba-tiba, ia merindukan rasa masakan rumahan yang lezat dengan bumbu berlimpah. Mayra yang ahli mengolah makanan, mengerti persis bagaimana menyenangkannya. Sepertinya, sudah lama sekali ia tidak makan secara benar di rumah. Adam dibelit kerinduan tentang aroma masakan, sambutan hangat di rumah, serta teriakan Cantika. Penyesalan berbalut kerinduan, membalut perasaannya.
**
Dion memperhatikan kakeknya yang duduk di sofa, berdampingan dengan Tina. Mereka berdua menjaganya karena Myara pamit pulang untuk mengambil barang-barang dan melihat Cantika. Dion mengernyit, saat melihat wajah kakeknya terlihat pucat dan lesu. Apakah terjadi sesuatu yang membuat kakeknya merasa sedih? Apakah tadi siang sang kakek bertengkar dengan Mayra? Dion tidak mengerti.
Dion menatap sahabatnya yang sedang mengupas buah pir. Berdehem sesaat dengan mulut menyunggingkan senyum. "Tina, kesini sebentar. Aku mau buahnya."
Tina mendongak, meninggalkan sofa dengan sepiring kecil irisan buah. "Ini, mau diiris lebih tipis lagi? Biar enak makannya."
Dion mendengkus. "Napa nggak sekalian aja kamu blender, biar aku tinggal neguk."
Wajah Tina seketika bercahaya. "Ah, saran bagus. Aku akan bilang istrimu nanti, biar bawa blender portable."
"Aah, Tina. Apa-apaan, sih? Kalian kayak nganggap aku sakit keras. Sampai sampai makan buah aja harus diblender."
"Demi kesehatanmu," jawab Tina lembut. Mengusap punggung Dion dan menyadari kalau tubuh sahabatnya itu makin terlihat kurus. "Grifin sedang mengatur cuti, Minggu depan akan menengokmu."
Dion mendesah. "Hanya anemia, apa perlu sampai begitu."
"Jelaslah, namanya juga sahabat."
Tina merapikan cemilan dan kotak tisu. Ia ingin melakukan apa pun, asal menjauhkannya dari pandangan Dion yang bersinar ingin tahu. Ia tidak tega, melihat sahabatnya yang bisa selalu penuh semangat, harus terbaring karena penyakit ganas. Ia juga tidak tahan untuk tidak menangis, saat menyadari kalau nyawa Dion bisa saja dalam bahaya. Padahal, Dion sedang dalam masa bahagia. Belum setahun menikah dengan Mayra, ternyata cobaan hidupnya sangat besar.
.
.
.
.
.
.
Versi lengkap tersedia dalam bentuk cetak (Bisa kalian cari di market place, shopee, Tokped, dll)Versi pdf di Google play book
Dan versi per part bisa di Karyakarsa
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...