Bab 1b

15.3K 1.3K 64
                                    

Rasanya seperti ada petir menyambar saat Mayra mendengar perkataan suaminya. Di luar sedang hujan, tapi sama sekali tidak ada guruh atau petir, lalu kenapa telinga Mayra seperti bergemuruh. Ia meneguk ludah, bertanya dengan gugup.

"Mas, bi-bicara apa kamu?"

Adam menghela napas panjang. "Ini kenyataannya, May. Aku ingin menikah lagi. Sudah ada wankita yang aku mau."

Mayra terperenyak, merasa kalau ini bukan mimpi. Guruh yang menggelegar bukan berasa dari langit tapi karena ucapan suaminya. Ia berusaha untuk tenang, meskipun hatinya menjerit sakit.

"Maas, ke-kenapa? Bukankah, kita baik-baik saja?"

"Memang, hubungan kita baik-baik saja. Tapi, hatiku nggak."

"Maksudnya, nggak, itu apa?"

"Mayra, jangan mempersulitku."

Mayra bangkit dari sofa, menatap laki-laki yang menunduk di hadapannya. Apa maksudnya Adam mengatakan kalau ia mempersulit? Siapa yang kesulitan dengan rencana pernikahan kedua suaminya, kalau bukan dirinya. Mayra masih berusaha tenang, menganggap suaminya sedang bercanda.

"Mas, aku hari ini nggak ulang tahun. Ke-kenapa ngasih prank begini?" Ia mencoba untuk tetap optimis.

Adam menatap lalu menggeleng. "Nggak ada yang nge-prank kamu, May. Aku memang ingin meniukah lagi."

Mayra menegang, tangannya mengepal. "A-aku nggak akan tanya siapa pe-perempuan itu. Aku hanya ingin tahu, kenapa? Apa sa-salahku, Mas? Kenapaaa?"

"Nggak ada yang salah sama kamu, Mayra. Memang aku saja yang terlena dan jatuh cinta dengan perempuan lain. Aku nggak berdaya, nggak bisa nolak pesona dia. Tolong kamu mengerti Mayra."

Mayra mencengkeram rambutnya kuat-kuat, berjongkok di lantai dan berusaha mengendalikan amarah. Ia masih tidak percaya perkataan suaminya tentang pesona perempuan lain, tentang cinta dengan orang lain. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah Adam tidak lagi menganggapnya ada? Apakah pernikahan lima tahun, harus hancur karena wanita kedua?

"Mayra, jangan menangis. Jangan marah. Tolong, dengarkan penjelasannku."

Perkataan Adam yang lembut, justru membangkitkan amarah Mayra. Ia berdiri dan berkacak pinggang, menunjuk suaminya.

"KAMU MEMINTAKU JANGAN MARAH, MEMINTAKU UNTUK TETAP TENANG. ISTRI MANA YANG BISA TENANG KALAU SUAMINYA MENGATAKAN INGIN KAWIN LAGI, HAH! ISTRI MANA YANG BISA TENAANG?"

Adam bangkit dari sofa, meraih bahu Mayra dan mengguncangnya. "Tenangkan dirimu, jangan membuat keributan. Anak kita sedang tidur. Lagipula, malu kalau didengar tetangga."

Myara menyingkirkan tangan suaminya. Menatap geram. "Kamu masih mikirin apa kata tetangga, tapi nggak perasaannku. Kemana perginya perhatian, sama kasih sayangmu dulu, Maas. Aku ini istrimu, bukan patung penunggu rumah." Ia melangkah ke depan Adam, menatap tajam mata suaminya dan menepuk dadanya. "Aku punya hati, sekarang aku lagi ngrasa sakit hati banget karena suamiku MAU MENIKAH LAGI! Aku bukan batu yang nggak bisa ngras sakit, Maas. Kenapa bisa begini? Kenapaaa?"

Mayra melorot ke lantai, menangis tersedu-sedu di kaki Adam. Rasa bahagia yang dirasakan tadi sore saat menerima pesan dari suaminya yang mengatakan ingin pulang cepat, menguap. Ia sengaja menyiapkan makan malam istimewa, mandi, dan luluran, untuk menyambut suaminya. Ia bahkan merencanakan ingin nonton film romantis sambil berpelukan di sofa, seperti yang pernah mereka lakukan dulu. Nyatanya, ia justru mendapatkan pukulan yang membuat hatinya retak dan luluh lantak.

Adam memejam, menghela napas panjang. Mengusap rambut dengan frustrasi. Ia selalu mengira kalau Mayra adalah perempuan yang lemah lembut, tidak pernah membantah, dan selalu menuruti perkataannya. Mayra tidak pernah berkata keras dan kasar padanya, selama mereka berumah tangga. Tapi, malam ini, perempuan itu berteriak dan memaki. Ia merasa, keadaan ternyata tidak mudah untuk dikendalikan.

"Mayra, bangun. Jangan menangis. Kita selesaikan semua dengan kepala dingin."

Mayra menahan tangis, segugukan mengusap pipi. Ia menatap suaminya yang berdiri menjulang di atasnya. Bangkit dengan perlahan, ia menahan semua kemarahan.

"Siapa perempuan itu?" tanyanya lamat-lamat.

Adam menghela napas panjang. "Dira, anak pemilik perusahaan."

Mata Mayra membulat kaget. Ia pernah bertemu Dira saat mengantar dokumen ke perusahaan suaminya. Perempuan anggun dan angkuh, yang bersikap seolah semua orang adalah bawahannya. Ternyata, perempuan angkuh itu tidak lebih dari perusak rumah tangga orang.

"Bu-bukankah dia tahu kamu sudah menikah, Mas?"

Adam mengangguk kecil. "Iya, dia tahu dan mau menerima keadaanku apa adanya."

"Apa maksudnya menerima apa adanya?"

"Maksudnya, dia tahu kalau kamu istriku, Cantika adalah anaknya. Dan dia nggak peduli, Mayra. Dira itu bisa mendapatkan laki-laki manapun, tapi dia cinta sama aku, May. Bukankah itu hal yang bagus?"

"Bagus? Apanya yang bagus, Mas?"

"Kita, Mayra. Keadaan kamu dan Cantika akan lebih baik kalau aku menikahi Dira."

Mayra merasa kakinya melemah dan ingin ambruk ke dasar bumi. Ia menatap Adam dengan mata membulat penuh sakit hati. Ternyata, hatinya tidak hanya retak dan berdarah, melainkan tercabik menjadi serpihan-serpihan kecil dan tidak cukup hanya itu, Adam justru melangkah di atas serpihan harga dirinya yang terkoyak dan membuatnya makin hancur.

"Bajingan kamu!" desis Mayra tajam.

Adam mengangguk. "Aku memang bajingan. Maafkan aku, May."

"Kamu masih mengharapkan aku memaafkanmu setelah semua ini? Kamu gila, Maas. Gilaa!"

"Memang, aku sudah gila. Kamu berhak untukm marah, memaki, atau mau memukulku juga boleh. Tapi, kamu harus tetap memaafkan aku."

Tangan Mayra terkepal. Ia tergoda untuk mengayunkan lengan dan memukul wajah Adam hingga luka. Ingin mencakar dan merobek wajah tampan suaminya. Namun, Mayra sadar kalau semua masalah tidak akan selesai dengan amarah.

Di luar hujan makin deras, angin bertiup kencang, memukul-mukul pohon dan menimbulkan bunyi derak yang menakutkan. Mayra mengusap pipinya yang basah, berharap hujan yang turun menyapu rasa sedih bercampur kemarahan yang ia rasakan sekarang.

Apa kurangnya sebagai istri? Ia tidak pernah banyak menuntut pada suaminya. Tidak pernah protes dengan banyaknya uang yang diterima dari Adam. Berusaha selalu mendukung karir Adam, merawat anak mereka, dan berbakti pada mertua. Mati-matian ia ingin mewujudkan keluarga harmonis dan penuh cinta untuk suami dan anaknya, ternyata balasan yang diterima sungguh menyakitkan.

"Kamu tega, Mas," ucapnya lirih. Suaranya tersapu angin dari luar rumah.

Adam mengusap bahunya. "Maaf, Mayra. Aku bersedia berlutut dan memohon ampun, asalkan kamu memaafkanku."

Mayra kembali terisak. Apa gunannya ampuan dan rentetan kata maaf, kalau pada akhirnya, cinta mereka tidak akan pernah kembali sama.

"Kalau aku memaafkanmu, emangnya kita bisa sama lagi kayak dulu, Mas?"

Mayra menatap suaminya dengan bersimbah air mata, memejam saat melihat Adam menggeleng.

"Nggak bisa, May. Karena Dira sedang hamil. Dia mengandung anakku."

**

Di Karyakarsa sudah bab 4

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang