"Sayang, bangun. Kenapa kamu tidur seperti orang pingsan. Cantika!""Brengsek! Apa-apaan kalian, berani masuk rumah orang tanpa ijin. Akan aku laporkan pada polisi!" Suara Dira terdengar keras dari depan kamar. Disahut oleh Dion yang sepertinya menahan geram.
"Panggil aja, polisi kalau kalian bisa menangkap kami. Yang pasti, kami ingin menjenguk Cantika."
"Nggak, itu nggak boleh!"
Dira menyerbu masuk dan ternganga marah saat melihat Mayra mendekap Cantika. Anak kecil itu masih tertidur pulas dengan Mayra berusaha membangunkan.
"Wanita kurang ajar! Berani kamu mengacak-acak rumahku!" Dira bergerak cepat, dengan perutnya yang membulat. Belum sampai di ranjang, Dion sudah lebih dulu di sana.
"Berhenti kalian. Sedikit saja berani menyakiti istriku, maka aku yakinkan kalau masalah ini akan sampai ke meja hijau!"
Perkataan Dion membuat Dira dan Adam terkaget, keduanya menatap Mayra dan Dion yang berdiri di dekat ranjang.
"Ka-kalian suami istri?" tanya Dira.
Dion mengangguk. "Iya, Mayra adalah istriku. Sah secara hukum dan agama, kalau kalian ingin tahu. Secara materi, dia sudah layak untuk mengasuh Cantika. Hartaku, tidak kalah banyak dari kalian!"
Adam meneguk ludah, merasa tidak percaya kalau Mayra akan menikah secepat ini. Ia sekilas melihat kendaraan yang dibawa mereka dan itu adalah BMW seri terbaru. Hanya orang-orang kaya yang mampu membelinya. Siapa Dion? Kenapa mau menikah dengan Mayra? Bahkan dilihat dari umurnya, terlihat jauh lebih muda dari Mayra.
"Kamu mengada-ada!" sergah Dira keras. "Kamu sengaja mengatakan itu, agar kami melepaskan Cantika. Tidak akan pernah! Jangan mimpi bisa membawa anakku keluar dari sini!"
Mayra yang terisak mengusap ujung mata. Menarik lengan Dion. "Suamiku, tolong lihat. Kenapa Cantika sedari tadi tidak bergerak. Padahal aku sudah berusaha membangunkannya. Tidak biasanya begini."
Dion duduk di samping Mayra. Mengusap wajah mungil dalam gendongan istrinya. Sama seperti Mayra, ia menepuk-nepuk lembut pipi Cantika.
"Hallo, Cantika. Ini Papa Dion. Kamu bangun, Sayang. Udah, dong bobonya!"
Cantika tidak menjawab, Dion membuka kelopak mata anak itu dan mendengkus kesal. "Sepertinya menelan obat tidur."
"Apaaa?" Mayra berteriak. "Ba-bagiamana mungkin?"
"Hanya itu penjelasannya, May. Mana mungkin Cantika tidur sebegini pulas padahal sedang ada keributan."
Mayra menyingkap selimut, meraba lengan dan leher anaknya lalu menjerit. "Ya Tuhaaan! Kalian apakan anakku? Kalian aniaya diaa!"
Di kulit Cantika, penuh dengan bilur merah. Dion mengangkat betis anak itu dan mengutuk keras saat melihat kulitnya kebiruan. Ia menatap Adam yang terdiam di dekat pintu dan Dira yang terbelalak.
"Bajingan kalian berdua! Berani-beraninya menyiksa anak kecil!"
Diar mendengkus keras. "Apa maksudmu dengan menyiksa? Cantika baik-baik saja bersama kami!"
Mayra meraung keras. "Kurang ajar kamu Dira! Terakhir ketemu anakku, bisa aku lihat kulitnya habis dipukul. Sekarang kamu cekoki dia obat tidur! Bukan manusia kamu!"
Adam merengsek maju, ingin menatap lebih dekat pada Cantika. "Kamu bicara apa, May. Dira nggak mungkin berbuat begitu!"
Mayra menjawab sengit. "Itu karena kamu sama setannya seperti istrimu! Kalian manusia laknat yang hanya bisa menyiksa anak kecil. Lihat saja nanti, aku akan bawa masalah ini ke pengadilan!"
Dira mengangkat wajah. "Oh, mau membawa Cantika? Coba kalau bisa?" Ia tersenyum angkuh. "Pelayaan! Jaga pintu jangan sampai dua manusia hina ini keluar membawa Cantika!"
Tiga pelayan dan satu sopir berdatangan ke kamar dan menutup jalan. Mayra memandang suaminya yang mengatupkan mulut. Dion terlihat sama marahnya seperti dirinya. Mayra memeluk Cantika lebih erat, menyesali diri karena tidak cukup berusaha untuk menyelamatkan anaknya.
Dion bangkit dari ranjang, mengedarkan pandangan ke sekelilingh kamar. Ia tersenyum kecil, pandangannya terpancang pada Adam.
"Saat istriku bercerita, bagaimana kelakukan mantan suaminya, aku mengutukmu keras. Hanya banci yang memukul perempuan. Ternyata, kamu juga menganiaya anakmu sendiri. Adam! Memang kamu layak mati!"
Adam terperangah lalu menggeleng. "Nggak, aku nggak pernah menganiaya anakku. Selama ini aku sibuk kerja dan Cantika di rumah." Ia menoleh pada Dira, bertanya dengan tatapan tajam. "Sayang, apa benar yang dituduhkan mereka? Kamu menganiaya Cantika?"
Dira menggeleng keras. "Nggak, mereka ngarang! Mereka sengaka mengatakan itu untuk membawa Cantika. Pokoknya, kamu harus halangi!"
Dion menatap garang pada Dira, baru kali ini begitu membenci seorang perempuan. Ia merogoh ponsel, dan berkata tajam. "Perusahaan keluargamu, bernama Haur Sejati. Kamu pasti mengenal PT. Golden Vicensa? Direktur dan CEO adalah Grifin. Kamu pasti kenal dia bukan? Pabrik beras kalian, masuk dalam jalur distributor Grifin."
Baik Adam maupun Diri, kini melotot ke arah Dion yang mulai memencet serangkaian nomor.
"Aku akan menelepon Grifin, kalian pasti tidak percaya kalau aku mengenalnya. Dengan satu kali permohonan, maka kerja sama antara perusahaan kalian pasti terputus."
Dira mengepalkan tangan, tersenyum sinis. "Jangan membual kamu. Memangnya kamu siapa bisa kenal dengan Pak Grifin?"
Dion berkata acuh tak acuh. "Aku siapanya Grifin, kalian nggak perlu tahu. Ah, udah tersambung, sebaiknya aku speaker biar kalian dengar. "Dion menyalakan pengeras suara pada ponsel sebelum menyapa. "Grifin, apa kamu ingat yang kita bicarakan minggu lalu tentang PT. Haur Sejati?"
Terdengar suara berat dari ujung telepon. "Ah, perusahaan mantan suami Mayra. Ada apa, Dion?"'
Kali ini Dira tercengang, karena mengenali suara itu.
"Aku dan Mayra sedang di rumah mereka untuk mengambil Cantika, tapi Dira mempersulitku. Menurutmu, aku harus bagaimana?"
Hening sesaat, lalu Grifin kembali bicara. "Kebetulan, aku sedang meninjau kontrak terbaru dengan mereka. Aku baca di sini, dispensasi satu tahun. Bagaimana kalau kita percepat pemutusan hubungan kerja?"
Dira menggeleng panik. "Pak Grifin, ini Dira. Ja-jangan begitu, Pak. Ini nggak ada hubungannya dengan perusahaan."
"Ah, ada Dira ternyata di sana. Dira, asal kamu tahu kalau Dion dan Mayra adalah temanku. Cantikan adalah keponakanku. Kalau kamu berani mempersulit mereka, sekarang juga aku akan menelepon papamu. Kita lihat, bagaimana masalah ini diselesaikan. Menurutmu, mana yang akan dipilih papamu? Perusahaan atau anak kecil yang nggak ada hubungan darah dengannya?"
Dira tahu apa jawaban dari pertanyaan Grifin. Hanya saja ia belum siap membiar Mayra menang. Ia mengepalkan tangan, menahan dadanya yang menggelegak penuh kemarahan.
"Kalian nggak bisa mengancamu!" teriaknya.
"Oh ya? Kita buktikan!" ucap Grifin. "Kamun harusnya tahu, dengan siapa kamu bermain, Dira."
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...