Peter memutar gelas di tangannya. Hingar bingar musik tidak membuatnya gembira. Hatinya terlalu marah, terlalu kesal, hingga rasanya ingin membantu gelas atau memukul seseorang. Ia datang dengan susap payah menemui Dion, merendahkan harga diri dan memohon, tapi kakaknya itu sama sekali tidak memandangnya. Sepertinya, bagi Dion dirinya tidak berarti apa apa. Bukankah mereka masih satu darah? Biarpun dari ibu yang berbeda. Apa salahnya memperlakukannya layaknya adik kandung? Berbagi hal yang sama termasuk perusahaan dan restoran?
Penampilan Dion bagi banyak orang memang dianggap lemah. Tinggi, kurus, dan berwajah pucat. Terlihat sakit-sakitan dan tidak punya tenaga. Namun, hanya keluarganya yang tahu persis, kalau penampilan bisa menipu. Dion sangat tangguh dalam berbisnis. Perusahaan kayu yang sekarang dipegang keluarganya, dulu Dion yang menangani. Dari perusahaan biasa saja dengan omset kecil, menjadi besar dengan produksi yang lancar. Semua keluarganya Makmur karena itu. Bahkan mamanya sering sekali ke luar negeri untuk belanja.
"Enak sekali kalian, aku yang kerja banting tulang, Tapi, kalian yang menghambur-hamburkannya!" Kemarahan Dion meledak saat tahu keluarganya menggunakan uang perusahaan untuk foya-foya. Tidak ada yang merasa bersalah, semua menganggapo sudah sewajarnya sedikit bersenang-senang.
Sampai dua tahun kemudian, Dion memutuskan untuk meninggalkan perusahaan. Entah apa alasannya tidak ada yang tahu. Sepertinya pemicu utama adalah kematian sang nenek yang meninggalkan warisan berupa restoran.
Peter menganggap Dion gila, karena lebih memilih untuk mengelola restoran dari pada menjadi direktur perusahaan. Melepaskan kemewahan hanya demi sebuah restoran. Ternyata, tidak pernah ada yang salah dengan keputusan Dion. Terbukti dengan restoran yang semakin maju, dan perusahaan kayunya yang semakin menurun produksinya setelah tidak ada Dion.
Peter baru tahu setelah mendapat penjelasan dari Andini, kalau nilai restoran itu sangat besar. Selain tanahnya yang luas, dan letaknya strategis, restoran itu juga sangat terkenal dengan masakannya yang enak. Rasa iri kembali menguasainya.
"Kenapa kamu diam saja? Masih kesal?"
Andini mengenyakkan diri di samping Peter. Tangannya membelai lembut paha pemuda itu. Untuk sesaat tubuh Peter menegang karena sentuhannya. Andini tersenyum dalam hati. Betapa mudahnya menggoda seorang pemuda yang lebih muda darinya.
"Kalau jadi aku, kamu pasti kesal juga," jawab Peter. "Kakakmu sendiri, lebih memilih istrinya yang miskin itu dari pada keluarganya."
Andini tersenyum. Tangannya bergerak makin berani. "Jangan salah. Dion tidak memilih istrinya, tapi memilih kokinya. Kamu lupa, Mayra itu koki penting di restoran. Tanpa Mayra, keadaan di sana tidak akan seperti sekarang. Itulah kenapa kakakmu menikahinya."
Peter mengangguk, mau tidak mau setuju dengan perkataan Andini. Memang terlihat jelas kalau Dion tidak ada perasaan pada istrinya. Pernikahan mereka sepertinya hanya pura-pura.
"Andini, aku ingin tanya sesuatu."
Andini mendekat dan berbisik di telinga Peter. "Tanya saja, ada apa?"
Peter meraih dagu Andini, mengamati wajahnya yang cantik dan sensual dengan tubuh yang molek dan menggoda. Dada Andini terlihat menggunung dengan kemeja yang hanya mengaitkan satu kancing, dan membiarkan kancing yang lain terlepas. Sunguh penampilan yang berani dan menggoda.
"Kenapa kamu mendukungku?"
Andini tersenyum tipis. "Karena aku ingin melihat Dion disingkirkan."
"Hanya itu?"
Andini mengangguk. "Hanya itu. Dia sudah mempermalukanku, dengan memilih koki miskin itu. Itu sama saja seperti menginjak harga diriku."
Peter mengernyit, merasa kalau jawaban Andini bukan sesuatu yang valid. Ia memiringkan kepala, coba-coba mengecup bibir perempuan itu dan Andini tidak berkelit.
"Kalau memang kamu nggak suka dicampakkan, kenapa kamu nggak nolak waktu dia memutuskan hubungan?"
Andini membalas kecupan Peter. "Jujur saja, aku nggak suka sama Dion. Menurutku, dia kurang ... jantan." Ia sengaja meniup telinga pemuda di depannya. "Aku suka yang pemberani, dengan gairah dan amarah yang menyala-nyala."
Tubuh Peter memanas. Ia meraih gelas dan menandaskan isinya. Meraih pinggang Andini dan meremasnya. "Kamu mau membantuku mendapatkan restoran itu?"
"Tentu saja, dengan satu syarat."
"Apa?"
"Aku ingin dilibatkan dalam mengelola restoran kalau kamu bisa mendapatkannya."
Musik, keriuhan, dan hingar bingar tidak membuat keduanya berpaling. Peter memeluk makin erat, hingga merasakan gundukan dada Andini mengenai dadanya. Napasnya memburu dengan kejantanan yang menegang saat tangan perempuan itu mengusap lembut pahanya.
"Bukan karena Grifin bukan? Aku mendengar desas desus, kamu menyukai Grifin."
Andini mengecup bibir Peter. "Kalau aku menyukainya, kenapa aku malah merayumu? Kenapa bukan Grifin? Asal kamu tahu, aku suka yang lebih muda. Lebih menantang dan juga, nakal."
Dengan berani Peter menangkup pinggul Andini, menggesekkan ke pinggulnya. Keduanya tidak sabar saling melumat tapi menahan diri karena sedang berada di keramaian. Peter meraih tangan Andini, membawanya ke tengah lantai dansa yang temaram. Bukannya menari, mereka saling memeluk dan berciuman. Peter ingin mereguk sebanyak mungkin kemesraan dari perempuan dalam pelukannya. Sudah lama ia mendamba dan malam ini harus didapatkannya.
"Kamu hot sekali," bisik Peter parau. Jemarinya bergerilya di dada Andini.
"Aku sanggup memberikan apa yang kamu mau, asalkan kamu juga melakukan hal yang sama." Andini menyapu ringan kejantanan Peter yang menegang.
"Kamu ingin restoran itu bukan?"
"Iya, itu."
"Ehm, aku janji. Akan memberikannya padamu."
Keduanya saling melumat dengan tidak sabar. Gairah yang membumbung tinggi seolah menerjang keduanya. Peter melepaskan ciuman, menarik tangan Andini ke toilet terdekat. Tidak peduli pada tempat yang sempit serta banyaknya orang, ia menghimpit Andini. Menarik rok dan menurunkan celana dalam. Jemarinya mengusap lembut kewanitaan Andini yang lembab, bergerak keluar masuk dengan bibir saling melumat.
"Woi, jangan ngewee di dalam!"
Suara gedoran pintu tidak diindahkan mereka. Peter membalikkan tubuh Andini menghadap dinding toilet, melepas celana dalamnya. Mengangkat satu kaki Andini, ia mencoba menyatukan tubuh mereka. Suara erangan terdengar dari tenggorokan Andini. Peter menggerakkan tubuhnya maju mundur, dengan tangan menangkup dada Andini. Suara ketukan datang silih berganti dan mereka tidak peduli.
Suasana terlalu panas, dengan hasrat yang meliar. Mereka bersetubuh tanpa tahu malu. Saling mencium, mencumbu, dengan panas yang menguar di setiap pori-pori.
**
Mayra mengusap wajah Dion yang pucat dengan kain bersih. Suaminya tertidur dengan bintik keringat keluar di dahi. Bukankah ruang rawat sangat dingin? Kenapa Dion justru keringatan? Punya penyakit apa Dion sebenarnya? Setelah pingsan di restoran, Mayra membawa suaminya ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Dokter mengatakan harus cek darah dan ronsen. Ia menelepon ke rumah, menitipkan Cantika pada Damar.
"Kamu yakin bisa menjaga Dion sendirian, May?" tanya Damar dengan suara serak.
"Iya, Kek. Yakin. Tolong jaga Cantika di rumah."
"Pasti, kamu nggak usah kuatir. Rawat saja suamimu dengan baik."
Duduk di pinggiran ranjang, Mayra menggenggam tangan Dion. Ia menggosok-gosok telapaknya yang dingin. Mencoba memberikan kehangatan melalui sentuhannya. Ia teringat saat dirawat karena kecelakaan, Dion yang menjaganya. Laki-laki itu bersikap baik meski tidak saling mengenal. Awalnya ia pikir karena tanggung jawab belaka. Ternyata memang Dion sebaik itu.
Dokter belum memanggil untuk membicarakan kondisi Dion. Mayra menunggu dengan was-was. Ia berdoa semoga tidak ada yang serius dengan kondisi suaminya. Ia sangat menyesali diri, kurang tanggap dalam memperhatikan Dion. Bukankah sebagai istri, ia harusnya lebih aktif bertanya? Lebih rajin memperhatikan? Sebagai istri, Mayra merasa dirinya tidak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...