Bab 7. Ada Saingan, Yo!

312 53 15
                                    

Bismillah,

"Yo, sini lu." Joaquin sedang asyik menatap ponsel ketika Yohan memasuki ruang kerja di kantor manajemen Take Mie With You.

"Gue mau ke roof top," kelit Yohan.

"Jual mahal amat, sih. Sini dulu kenapa?! Ini penting!" Joaquin mendekati Yohan lalu menarik tangan lelaki itu ke dekat jendela. "Lu ambil napas ya. Tenangkan diri. Usahakan jangan emosi."

"Brengsek lu emang! Ada apaan, sih?!"

Joaquin menyodorkan ponselnya ke hadapan Yohan. Awalnya Yohan belum mengerti, tetapi ketika nama akun itu terbaca barulah dia paham. Dadanya terasa sakit melihat unggahan Lucia. Belum genap dua minggu sejak dia memergoki Ade dan Lucia di kafe, sekarang keduanya sudah mengumumkan pertunangan.

Dengan Yohan, Lucia terlihat berbelit-belit ketika dia menyatakan akan melamar gadis itu.

"Lu udah tahu kalo Lucia jadian sama Ade? Kok gue nggak tahu?" tanya Jo tanpa perasaan. Padahal wajah Yohan sudah ditekuk.

Yohan mencabut rokok dari kotak rokok di saku kemeja Joaquin. Menyulutnya lalu menghisap benda bernikotin itu. Tidak tertarik untuk menjawab Jo sama sekali. Saat-saat begini dia biasanya akan kabur ke Semilir Angin. Bersembunyi di balkon lalu ... berbicara dengan Venita.

Sialnya dia tidak tahu kalau akan menerima kabar buruk hari ini.

"Gue udah putus." Yohan menerawang. Lebih tepatnya menghindari tatapan menyelidik Jo. Sangat sadar kalau Joaquin sedang meliriknya. Seolah bersiap menginvestigasi.

"Ehem. Jadi ... gini, Yo. Gue ... nggak bermaksud bohongin lu. Tapi gue pernah lihat Lucia sama Ade. Mereka enggak tahu kalo gue ngelihat dan ... gue nggak tega ngasi tahu lu." Joaquin menepuk pundak Yohan.

"Brengsek, lu. Mestinya jauh-jauh hari lu kasih tahu gue. Jadi gue nggak kaya orang bego gini!"

Mereka berdua diam. Sibuk dengan rokok dan pikiran masing-masing. Yohan menarik ponsel dari kantong belakang celananya. Membuka instagram Lucia. Berlama-lama menatap unggahan Lucia berisi foto dirinya dan Ade yang kelihatannya sedang diner romantis di resto. Di foto kedua sepasang pengkhianat itu mengacungkan jari dengan cincin melingkar di jari manis.

Yohan tersenyum masam. Teringat malam ketika dia menunggu Lucia di resto. Teringat kotak cincin yang sampai sekarang masih disimpannya di laci meja kerja di kamar tidurnya. Teringat dia belum memberitahu Mamanya tentang kegagalan hubungannya.

Seraya melumat rokok ke asbak, Yohan memasukkan lagi ponselnya. Meng-unfollow akun Lucia dan berjanji dalam hati kalau dia akan segera menghapus foto-foto dirinya bersama gadis itu. Dia yakin setelah ini seluruh dunia akan menatapnya dengan iba.

"Gue cabut, Jo," pamitnya.

"Mau ke mana lu?"

"Ke Semilir Angin," sahut Yohan sambil berjalan.

"Lu ... mau ke ... Venita ya?" Detik berikutnya Jo menyesal karena sudah lancang menanyakan itu.

Yohan langsung berhenti berjalan. Berbalik dan menatap Jo dengan ekspresi sebiasa mungkin. "Lu mata-matain gue?!"

"Bukan gitu, Yo. Gue beberapa kali liat elu runtang runtung sama Venita. Nggak masalah, man!" Jo mengangkat dua tangannya di depan dada.

"Jangan mikir aneh-aneh. Gue sama Venita ada urusan kerjaan. Lagian ... dia bukan kriteria gue." Kalimat terakhir Yohan diucap lirih dengan air muka murung.

"Hati-hati sama ucapan lu. Kualat baru tahu rasa," teriak Jo pada Yohan yang tak peduli.

Lelaki berkemeja abu-abu itu berjalan pergi. Tidak memberi Jo kesempatan untuk mencecarnya. Dia tahu sahabatnya pasti sudah mencium kalau dia dekat dengan Venita. Yang menurut Yohan sama sekali tidak benar.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang