Bab 60. Extra Part: Gue dan Kriteria Sialan!

478 21 2
                                    

Bismillah,

POV Yohan Satria

Sesuai kriteria! Itu kalimat andalan gue kalau sudah berurusan dengan cari jodoh. Sejak berpisah dengan Tessa gue jadi merasa harus punya pedoman dalam mencari jodoh. Kegagalan dan kehebohan dengan Tessa sebagai sumbernya adalah ketidakbecusan mengenali ini cewek baik atau rusak.

Kriteria yang muncul di kepala gue terinspirasi dari nyokap. Mama itu luar biasa. Lembut, tegas dan sabar banget ngadepin bokap yang super nyebelin. Hanya masalah usia yang nggak diambil dari sosok Mama. Itu ide gue sendiri gara-gara image Tessa yang sudah terlanjur membekas di kepala. Gue dan Tessa sebaya, teman satu kelas waktu SMA dan itu membuat dia sulit diatur. Gara-gara itu gue pengen punya istri yang usianya lebih muda.

Ternyata usia bukan patokan juga. Buktinya Lucia juga sama saja. Sulit diatur dan dipahami.

Malam itu ketika galau karena Lucia, gue dapet kejutan. Cewek yang usianya nggak beda jauh ternyata bisa begitu bikin adem. Venita bikin terpana malam itu. Selama ini sosoknya kalem dan nggak banyak bicara, plus nggak pede. Dia suka gagap kalau bicara sama gue dan itu ngeselin. Mestinya dia pede dan tegas kaya Mama Arum.

Tapi siapa sangka gue malah jatuh cinta ketika Venita nggak sengaja memamerkan pesona rahasianya itu. Sialnya, gengsi lebih besar dan menjebak ke dalam masalah yang nggak perlu. Masalah Kania sialan itu misalnya. Yah, itu kegoblokan gue.

Gue mengarahkan mata ke satu titik, area yang biasanya ditempati pemain musik. Venita sedang tertawa lembut bersama Mocca. Ya Tuhan, dia memang luar biasa. Semua yang dia lakukan nggak pernah lebay, tapi pas dan bikin hati ini berdebar-debar.

Betapa gobloknya gue yang sudah melewatkan daya tarik seorang Venita. Cuma karena kriteria-kriteria tolol yang menjebak dalam ketololan lain.

Gue berjalan mendekati Venita. Dia mengenakan kebaya berwarna biru langit. Tangannya masih memegang buket mawar putih yang tadi gue kasih. Dengan satu tangan gue memeluk pinggangnya lalu berbisik, "Sayang." Lebay banget kan!

"Mas," katanya sambil sedikit mendorong gue. Mungkin dia malu karena Mocca memerhatikan. Detik berikutnya Mocca pamit. Tahu diri kalau dua orang di depannya butuh mesra-mesraan. Sebagai pengantin yang baru saja selesai ijab kabul, pastinya gue dan istri pengen berduaan.

"Kangen," bisik gue sambil mencium ringan pipinya. Dia tersipu.

"Malu, Mas. Masih banyak orang," jawabnya sambil melarikan matanya ke sekeliling venue.

Hari ini Semilir Angin disulap jadi venue akad nikah. Gue sengaja memilih tempat ini bukan karena mau irit. Tapi tempat ini kecintaan istri gue. Dia berjuang setengah mati untuk menyelamatkan Semilir Angin. Sampai rela meninggalkan Mas Bos-nya demi kafe ini. Ck, kalau ingat saat-saat ditinggal itu, rasanya sesak.

Masih dengan tangan memeluk pinggang istri, gue mengedarkan pandangan. Warna biru dan putih terlihat di mana-mana. Meja dan kursi tempat akad nikah tadi, bunga, tulisan dan kain-kain untuk dekorasi. Semua hal tentang akad nikah ini diputuskan Venita dan gue. Dia nggak mau memutuskan sendiri, katanya sambil belajar berkomunikasi berdua.

Tahu aja kalau gue memang perlu belajar. Kepala gue yang sama batunya sama bokap ini memang perlu pasokan kelembutan ala Venita.

Di satu sudut gue melihat bokap, sedang duduk sendirian sambil memegang cangkir. Matanya seperti menerawang dan ekspresi wajahnya datar banget. Gue jadi inget pertengkaran terakhir sebelum akad nikah. Sampai detik terakhir, dia nggak mau merestui gue sama Venita. Tapi bodo amat, yang penting Mama sudah memberi restu. Ajaibnya bokap tetap dateng ke akad nikah. Entah Mama punya mantra apa untuk melunakkan hati bokap.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang