Bab 51.Dilema

71 10 0
                                    

Bismillah,

Venita mengerjapkan matanya cepat. Berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan lelaki di hadapannya. Seraya mengatur debaran jantungnya, dia mengamati lagi lelaki berkemeja lengan pendek warna abu-abu ini. Perlahan pemahaman menyerbu. Venita menemukan beberapa kemiripan dengan Yohan. "Oh, maaf. Saya ... baru kali ini bertemu dengan Bapak," ucapnya sopan.

Erizal tersenyum tipis. Sesekali matanya mengamati Venita. "Jadi bagaimana keadaan Semilir Angin? Saya tahu kamu yang bertanggung jawab di sana."

Lagi-lagi Venita tergagap. Sudah lama dia tidak merasa terintimidasi sehingga kebiasaannya bertingkah gugup hilang. Tetapi, berhadapan dengan lelaki yang masih gagah di usia tua ini memantik kembali kebiasaan buruk itu. "Iya, saya memang manajer operasionalnya."

Sebuah pemikiran melintas begitu saja, membuat Venita menghentikan kata-kata yang sudah disusunnya. Dia terjebak konflik, apakah Yohan akan senang kalau dia menceritakan keadaan Semilir Angin pada Ayahnya. Lelaki yang duduk berseberangan dengannya memang bertalian darah dengan Yohan, tapi dia pun sudah mendengar kalau Mas Boss tidak akur dengan Erizal.

"Nggak usah khawatir, Yohan sudah menemui saya. Dia cerita kalo Semilir Angin sedang kesulitan. Karena itu saya menemui kamu. Saya memang berniat menyuntikkan dana pribadi, tanpa sepengetahuan Yohan tentu saja. Makanya saya mengaku sebagai investor ketika menghubungi kamu tadi."

Kenapa nggak langsung ngasi tahu Mas Yohan kalo memang mau investasi di Semilir Angin?!

Venita membuat gerakan mengelus kerudungnya. Ide itu langsung muncul di kepala setelah mendengar penjelasan Erizal. Untuk bertanya langsung, dia merasa tidak sopan.

"Kalo Yohan tahu saya memberikan dana untuk kafenya, dia pasti menolak. Kami memang nggak akur, tapi saya sayang anak saya," lanjut Erizal seperti bisa membaca pikiran Venita. Dia menangkap gelagat Venita. Perempuan berhijab warna tosca itu tidak segera menanggapi. Sebagai orang yang sudah berpengalaman, Erizal bisa dengan cepat membaca situasi itu.

"Begini, Pak Erizal," Venita akhirnya membuka suara. "Memang kafe sedang dalam keadaan sulit. Ada tagihan yang harus segera dibayar, sementara pendapatan tidak bisa menutup tagihan itu. Kafe menanggung fix cost, biaya operasional dan biaya promosi yang cukup besar. Semua usaha yang kami lakukan belum mampu menaikkan jumlah pengunjung dengan signifikan. Jadi, ... ya kafe perlu bantuan."

Senyum miring Erizal terbit. Campuran ekspresi kagum dan getir mewarnai wajahnya. Penjelasan Venita menunjukkan kalau perempuan ini mengenal Semilir Angin. Erizal juga menduga Venita piawai dalam bekerja, sayang itu semua tidak membuatnya bersimpati. "Berapa tagihan yang harus dibayar?"

"Saya tidak bisa menyebutkan angka pasti. Saya harus berkonsultasi dengan Mas Yohan dulu untuk memberitahu Bapak jumlah yang fix." Venita bersiasat, terlepas dari fakta kalau lelaki ini Ayah Yohan, urusan keuangan kafe tetap rahasia yang harus dijaga.

"Oke. Saya tunggu jumlah pastinya. Saya akan bayar tagihan secepatnya. Selain itu saya akan kasi dana untuk Semilir Angin. Dana itu bisa dipakai untuk apa saja selama bisa melepaskan Semilir Angin dan Yohan dari kesulitan." Erizal terlihat puas setelah mengucapkan kalimatnya. Dengan santai dia bersandar ke kursinya, lalu memanggil pelayan.

Mereka memang sedang berada di sebuah restoran Padang yang berjejer dengan kafe. Erizal yang memilih tempat ini. Memastikan tempat pertemuannya dengan Venita aman dari jangkauan Yohan.

Setelah mengucapkan pesanan, Erizal menoleh pada Venita. "Kamu mau pesan apa, Venita?"

"Terima kasih, Pak, saya minum saja. Satu jeruk hangat," ucap Venita menoleh pada pelayan yang dengan sigap mencatat pesanannya.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang