Bismillah,
Dengan geram Yohan menghempaskan backpack ke kursi di area luar bandara. Kata-kata Ayahnya terngiang terus. Menambah murka dan galau hatinya. Yohan tidak habis pikir dari mana Erizal mendapat ide untuk memaksanya menikahi Tessa.
"Brengsek!!" umpatnya pelan. Kedua tangannya bersedekap rapat. Mencegah tinjunya untuk menghantam kursi di departure area.
Kali ini tangannya meraih ponsel di kantong. Di perjalanan dia mencoba memesan tiket pesawat lewat aplikasi, tapi belum berhasil. Gara-gara keributan dengan Ayah dia memutuskan kembali ke Malang hari ini juga. Walaupun dalam kepalanya masih terbetik permasalahan Semilir Angin.
Sebenarnya Yohan juga sudah berencana meminjam dana untuk membereskan masalah di Semilir Angin. Kalimat untuk membuat hati Erizal melunak sudah disusunnya. Sayang, percakapan mereka sudah tidak mulus di awal.
"Sial!" Lagi-lagi Yohan merutuk karena pesawat menuju Surabaya yang masih bisa dibooking jamnya menjelang sore. Tidak mungkin dia menunggu berlama-lama di bandara. Tidak mungkin juga dia kembali ke rumah setelah pertengkaran dahsyat tadi pagi.
Dengan frustrasi Yohan mengusap kasar kepalanya. Adegan pertengkaran tadi pagi bermain lagi di kepala.
"Tessa calon terbaik buat kamu. Kalian pernah punya masa lalu." Erizal melanjutkan menyesap kopi.
"Ayah dapat ide itu dari mana?" Sekuat tenaga Yohan menahan diri.
"Apa pentingnya kamu tanyakan itu?! Pokoknya Ayah nggak akan setuju dengan calon lain," ucap Erizal memberi ultimatum.
Secepat kilat Yohan berdiri dengan dua tangan mengepal. "Ayah nggak bisa ngatur hidupku! Ini nggak sama dengan kejadian masa SMAku, Yah!" Rahang Yohan mengeras.
Dia merasakan belaian lembut Arum di punggungnya. Raut tenang bercampur permohonan terlukis di wajah perempuan itu. Yohan mengalah. Dengan berat dia kembali duduk, mengatur napasnya yang sempat tersengal.
"Dari dulu kamu nggak bisa mengatur hidupmu. Kenapa nggak nurut saja sama Ayah?! Kamu juga sudah kenal Tessa. Apa sih yang bikin kamu nolak?!" Erizal mengarahkan tatapan tajam pada putra lelakinya.
"Karena aku berhak memilih dengan siapa aku menikah! Ayah nggak perlu ngatur hidupku sampe segitunya!"
"Terus kamu mau nikah sama siapa?! Pilihan kamu tuh nggak pernah bener! Apa yang kamu kerjakan pasti bermasalah," bela Erizal.
"Memang yang aku kerjakan tuh nggak pernah bener di mata Ayah. Mestinya Ayah rajin datang ke Malang. Rajin ngobrol yang enak dengan anak-anak Ayah. Bukan hanya ngatur kehidupan kami," desis Yohan menahan geram.
Erizal tidak membalas lagi. Lelaki itu menyesap kopi lalu membuang muka untuk menghindari tatapan Yohan yang penuh amarah. Sementara Arum masih memegang lembut tangan Yohan, berusaha meredakan emosi anak lelaki satu-satunya.
"Mas, Yohan sudah punya calon. Perempuan baik yang insya Allah bisa membimbing dan ngemong dia. Gimana kalo Mas Rizal dengarkan dulu yang mau disampaikan Yohan? Dia sudah gede loh, Mas. Sudah bisa milih calon istri. Kita nggak perlu terlalu khawatir dia akan mengulang kesalahan." Arum menjelaskan dengan tenang. Bahkan senyum lembutnya ikut tersungging.
"Dia sudah besar, karena itu harus tanggung jawab sama kesalahan masa lalunya," kata Erizal dengan nada memerintah.
"Aku sudah bertanggung jawab, tapi dia nggak mau! Ayah mau aku ngapain lagi?! Mengemis?! Merengek?! Aku laki-laki, Yah! Aku nggak mau merendahkan diri sampe serendah-rendahnya. Apa Ayah tahu apa yang sudah dia lakukan setelah nolak aku?!" Kali ini emosi Yohan memuncak. Dia berdiri dengan wajah mengeras. Dua tangannya mencengkram tepian meja. Seluruh tubuhnya gemetar menahan ledakan amarah yang lebih besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Match
Roman d'amourWattpad Romance ID March Reading List Nggak sesuai kriteria! Kalimat yang sering diucapkan Yohan jika berurusan dengan masalah jodoh. Gara-gara kriteria yang dibuatnya Yohan malah terpuruk karena patah hati. Perempuan yang menurutnya memenuhi kriter...