Bab 3. Riset tentang Hubungan

345 54 10
                                    

Bismillah,

Yohan membuka pintu ruang kerja, matanya langsung bersirobok dengan Venita. Perempuan dengan blus kuning muda itu sedang mengangkat cangkir kopinya. Siap menyesap minuman yang mengeluarkan asap tipis itu.

Mereka saling menatap. Sama-sama membeku dan tenggelam dalam sorot mata satu sama lain. Yohan yang pertama memalingkan muka. Dia berjalan ke arah sofa panjang yang posisinya menyamping dari meja Venita. Menghempaskan tubuhnya, lalu bersandar dan menopangkan dua tangan di belakang kepala.

"Ada info apa?" tanyanya tanpa menatap Venita.

"Ehm, ada vendor yang menawarkan bahan mentah, Pak." Venita buru-buru meletakkan cangkir, lalu membuka file di laptop.

"Terus?"

"Harga yang ditawarkan lebih murah, tapi saya sedang ngecek kualitasnya, Pak," terang Venita.

"Kenapa nggak tetep pake Septian?"

"Pak Septian sudah overload, Pak. Vendor ini juga atas saran beliau." Venita menunggu Yohan merespon. Matanya masih tertuju pada layar laptop yang menampilkan data penawaran. Setelah lewat tiga menit dan tidak ada tanggapan, barulah dia melongokkan kepalanya dari layar.

Yohan sedang menatap langit-langit. Dua tangannya saling menjalin di belakang kepala. Lelaki dengan kemeja lengan pendek itu sedang melamun.

"Pak, maaf," tegur Venita lembut.

"Apa?" Yohan memiringkan kepalanya sedikit. Matanya hinggap tepat di atas bibir yang dipulas lipstick berwarna oranye lembut. Menyebabkan benaknya memutar peristiwa malam itu. Awkward moment ketika bibirnya mendarat tepat di bekas bibir Venita.

Sial, bibirnya bagus ternyata.

"Ini file penawaran dari vendor, Pak."

Yohan melonjak kaget. Venita berdiri sedikit di sampingnya. Saking sibuknya dengan adegan malam itu, dia sampai tidak tahu sejak kapan Venita berdiri di situ.

"Apaan, sih, lu?" omelnya. Sebenarnya itu dilakukan untuk menutupi rasa malu karena melamunkan bibir manajer kafenya. "Kasi aba-aba kek, apa kek. Tahu-tahu udah di situ aja."

Venita melongo. Dia tidak mengerti kenapa Yohan terlihat begitu kaget melihatnya mengulurkan beberapa lembar kertas berisi penawaran vendor. "Oh, maaf, Pak," gumamnya. Tangan yang tadi terulur sudah diturunkan. Venita menunduk dan sedikit salah tingkah.

"Itu apaan?" cecar Yohan.

"Penawaran vendor, Pak." Mata Venita masih tertuju pada lantai kayu vinyl yang menutupi ruang kerja.

Yohan mengambil lembaran kertas dari tangan perempuan berjilbab kuning itu. Menampakkan wajah kesal, lalu membaca sekilas arsip di tangannya. Walaupun sebenarnya pikirannya tidak berfokus pada data.

"Ehm, saya ... juga ... mau ... laporan, Pak."

"Apa?!"

"Ehm, jumlah pengunjung ...."

"Kenapa jumlah pengunjungnya? Coba kalo ngomong yang jelas. To the point, nggak usah pake jeda lama begitu," sembur Yohan.

"Jumlah pengunjung kafe kita masih sedikit, Pak. Saya sudah kirim laporannya ke email Pak Yohan." Venita buru-buru kembali ke mejanya.

"Ven," panggil Yohan.

Venita tidak jadi mengutak-atik laptop. Matanya menatap Yohan dengan was-was. Khawatir bossnya jadi uring-uringan karena berita buruk yang baru saja disampaikannya. "I-iya, Pak?"

"Bikinkan gue kopi." Yohan menghembuskan napas, menundukkan kepalanya yang terasa berat. Sementara tangannya masih mencengkram kertas-kertas yang isinya tidak bisa dicernanya dengan baik.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang