Bab 48. Tessa

59 8 0
                                    

Bismillah,

Venita menyambut uluran tangan perempuan itu. Memamerkan senyum rileks sembari memindai dengan cermat lawan bicaranya. "Venita, manajer Semilir Angin," jawabnya tegas dan ramah. Tidak ada kekhawatiran yang nampak di wajahnya. Walaupun jantungnya sedikit bergemuruh ketika perempuan ini menyebutkan siapa dirinya.

"Hanya manajer? Yakin?" Tessa menyeringai.

"Tergantung apa urusan Mbak Tessa. Kalo mau bicara tentang Semilir Angin, saya manajer yang bertanggung jawab penuh," balas Venita dengan anggun.

"Saya mau bicara hal pribadi. Ini tentang Yohan. Dia pacar saya." Satu sudut bibir Tessa tertarik. Senyumnya lebih terlihat seperti ejekan pada Venita.

"Baik. Saya ... calon istrinya," ucap Venita tanpa ekspresi dan nada berlebihan. Kita bisa bicara di lantai satu, Mbak." Venita mengarahkan tangan ke arah pintu.

"Kita bisa bicara di sini saja, kan?! Kenapa harus di lantai satu? Ini kan kantornya Yohan," tolak Tessa dengan nada bicara meninggi.

"Maaf, Mbak Tessa. Ini kantor Semilir Angin. Saya mengurus bisnis dan hal professional di sini. Sedangkan kedatangan Mbak Tessa ingin membahas hal pribadi, jadi kita bicara di tempat yang seharusnya." Venita berargumen. Wajahnya tetap tenang dan nada bicaranya pun lembut.

"Ribet amat." Tessa tertawa mengejek.

"Bukan ribet, saya hanya tidak suka mengkhianati tanggung jawab Boss saya. Ruangan ini berfungsi sesuai dengan instruksi Mas Yohan. Silakan ikuti saya, Mbak." Tidak lagi memberi Tessa kesempatan untuk membantah, Venita berjalan lebih dulu. Meninggalkan Tessa yang melongo. Rupanya dia salah menilai Venita yang terlihat lembut. Perempuan itu bisa melawan dan menahan serangannya dengan telak.

Tidak punya pilihan, Tessa mengikuti Venita dengan bersungut-sungut. Mengakui dalam hati kalau perempuan ini punya kelas, Tessa juga bertekad kalau tidak akan mau dikalahkan Venita.

Sampai di area lantai satu yang lengang, Venita memilih meja yang langsung berbatasan dengan area persawahan. Siang itu panas. Awan kelabu mulai terlihat di utara. Sementara matahari masih bersinar dengan terik. Sinarnya seperti sedang melawan keras mendung yang semakin menggelap.

"Silakan pesan makan atau minum, Mbak," tawar Venita seraya menyodorkan menu.

"Saya ke sini bukan untuk makan atau minum." Tessa mengembalikan menu.

"Saya tahu. Tapi Mbak Tessa tamu di sini, jadi saya harus bersikap sopan." Buku menu kembali digeser perlahan ke arah Tessa.

Perempuan dengan blus warna tosca itu menghujamkan tatapan tidak suka pada Venita. Dengan terpaksa menerima menu lalu membukanya setengah hati. "Mango Kiwi Mojito. Itu minuman spesial yang pernah dibuat Yohan untuk saya."

"Baik, saya pesankan." Bibir Venita melengkungkan senyum, lalu tangannya terangkat memanggil waiter. "Mango Kiwi Mojito untuk Bu Tessa, dan macchiato dengan extra espresso untuk aku." Segera setelah waiter pergi dengan pesanan, Venita mengembalikan pandangannya pada Tessa. "Ada hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu. Kita punya pilihan, melepas atau terjebak di dalamnya."

Tessa memiringkan kepala. Keningnya mengernyit. "Maksud kamu apa?"

"Itu bukan kalimat saya, tapi kalimat Mas Yohan. Dia yang cerita arti dari mango kiwi mojito yang dia racik. Masa lalunya tidak enak. Kecut dan pahit. Seperti mojito pilihan Mbak Tessa." Venita menggangguk kecil dan menarik sudut-sudut bibirnya.

Dalam hatinya yang sudah dipenuhi detakan tak nyaman, Venita mengakui kalau kalimat itu karangannya sendiri. Teringat dia pernah melihat Yohan menolak minum mojito. Dulu ketika Semilir Angin belum berdiri. Dia menyimpulkan Yohan tidak terlalu suka minuman bersoda itu.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang