Bab 59. Lu Bukan Kriteria Gue!

283 17 0
                                    

Bismillah,

Venita menghempaskan tubuhnya dengan keras ke kursi. Menumpukan kepala pada dua tangannya lalu menghembus napas kasar.

Satu kata untuk menggambarkan hari ini. Lelah!

Sejak pagi pekerjaannya sudah rumit. Sudah beberapa hari Agung dan Nandita perang dingin gara-gara hubungan cinta yang diam-diam mereka jalin harus berakhir. Parahnya dua orang itu adalah sous chef dan station chef.

Venita merasa bodoh karena sama sekali tidak tahu dua chef yang bekerja di bawah supervisinya punya hubungan. Sebenarnya itu sah saja tapi bisa runyam kalau sesuatu terjadi. Sesuatu seperti putus ini misalnya.

Untuk ketiga kalinya Venita terpaksa turun ke dapur dan mencoba lagi mendamaikan Agung dan Nandita. Perseteruan cinta itu tidak berdampak baik pada restaurant, apalagi Warung Bli sedang ramai. Jelas hal itu membuat suasana dapur menjadi tidak enak.

Tadi menjelang resto tutup konflik itu meledak. Agung dan Nandita beradu mulut. Sampai Venita terpaksa berteriak untuk menghentikan keributan itu. Warung Bli memang sudah bersiap tutup, dan setelah kesibukan yang mengerikan seharian tadi dua orang yang saling berteriak sama sekali bukan ending yang diharapkan semua staff resto. Khususnya Venita.

Untunglah Heru, executive chef membantu menengahi. Akhirnya Agung dan Nandita meninggalkan dapur untuk mencari tempat yang tenang dan berbicara.

Venita memijat pelipisnya sambil mengatur napas perlahan. Adegan drama di dapur tadi diulang lagi di dalam pikirannya. Masalah tambahan juga datang karena ada kekeliruan pengiriman bahan mentah dari vendor. Heru menegurnya, walaupun tidak keras tapi itu menohok Venita. Dia sadar beberapa hari terakhir tidak bisa berkonsentrasi penuh. Sebabnya tentu saja karena dia kangen Yohan.

Dia sangat berterima kasih karena sang executive chef mau memaklumi keadaannya. Dan, vendor bersedia menukar bahan yang salah kirim dengan bahan yang memang dipesan resto.

Akhirnya Venita bisa bernapas lega. Dengan letih dia naik ke lantai dua setelah menyambar secangkir kopi. Sekarang di sinilah dia. Di dalam ruangan kantor tempat manajemen resto Warung Bli diurus dengan lampu yang kebanyakan sudah dimatikan.

Melihat Agung dan Nandita membuatnya teringat Yohan. Dia dan Yohan tidak pernah berdebat seheboh pasangan chef-nya. Mereka kadang tidak setuju, tapi Venita selalu bisa mendinginkan suasana. Dengan kelembutannya, sifat keras kepala Yohan bisa ditaklukkan. Venita sudah paham bagaimana Yohan ingin diperlakukan. Mereka bisa dibilang cocok seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi.

Yohan yang tegas dan sedikit kasar. Venita yang tenang dan lembut. Sekilas keduanya terlihat seperti paduan aneh. Tapi kesan itu akan hilang jika orang lain melihat bagaimana interaksi mereka.

Tanpa sadar bibir Venita membentuk senyum. Kenangan tentang lelaki itu masih membekas dalam. Samar-samar pesan Andi melintas di pikirannya. Pesan berisi saran untuk berbicara dengan Yohan.

Tidak ada yang tahu betapa Venita ingin berbicara dengan Yohan. Dia ingin mencurahkan keluh kesah yang selama ini disimpannya sendiri. Sayangnya, Venita masih ingat kalau Erizal adalah poros dari perpisahannya dengan Yohan. Jadi sebisa mungkin dia menahan diri karena tidak ingin memperkeruh hubungan ayah dan anak.

Ketukan di pintu menyadarkan Venita.

"Mbak Ven, di bawah sudah beres-beres, loh." Suara Lilia, kasir resto, sampai ke telinga Venita. Perempuan itu melongok dari celah pintu, tersenyum pada Venita. "Nggak siap-siap turun?" tanya gadis berambut sebahu itu.

Venita mengangguk dan tersenyum kecil. "Oke, lima menit lagi ya."

Setelah mendapat jawaban Lilia pamit dan segera berlalu. Sedangkan Venita mulai menyimpan pekerjaan di laptop lalu mematikan benda itu. Dia bergerak lambat, menyimpan laptop dan barang-barangnya ke dalam tas ransel lalu melangkah ke luar ruangan.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang