Bab 45. Melepasmu

68 9 0
                                    

Bismillah,

Melepasmu

Sudah satu jam Yohan menunggu di dalam mobilnya, tapi orang yang akan ditemuinya belum kelihatan juga. Mobil yang biasa dikendarai Andi juga tidak ada di area parkir. Begitu sampai di kantor firma hukum tempat Andi bekerja, Yohan langsung meminta bertemu. Sayangnya, resepsionis memberitahu kalau Andi sedang keluar.

Gerimis mulai turun satu persatu. Kaca mobil Yohan buram karena air hujan berdesakan. Terpaksa dia menyalakan mesin dan menyalakan wiper. Diliriknya Fossil yang melingkar di pergelangan tangan. Dia menarik napas lalu menghembuskannya pelan sambil mengusap muka. Jarum jam bergerak ke angka 12.

Menyumpah dalam hati, Yohan kesal karena rencananya seperti berjalan lambat. Dia sudah galau semalaman dan berharap bisa segera bertemu Andi. Respon apa pun dari Andi akan diterimanya. Bahkan jika harus menerima bogem lagi, dia tidak keberatan. Yang penting bisa mendapatkan Venita.

Ponselnya berdering. Nama Bagas muncul di layar. Yohan sempat mengerutkan kening sebelum memilih me-reject panggilan. Setelah itu dia menyalakan mode pesawat. Dalam hati berjanji akan menelepon Bagas setelah urusannya dengan Andi selesai. Sekarang dia harus berkonsentrasi pada Andi.

Detik berikutnya sebuah Mirage hitam memasuki area parkir. Tanpa memastikan dua kali, Yohan sudah tahu kalau itu Andi. Dia menunggu dengan sabar. Memastikan Andi memasuki kantornya, barulah Yohan akan menyusul.

Debaran di jantungnya meningkat begitu melihat Andi dijemput security yang membawa payung. Detik demi detik berlalu sampai akhirnya Yohan melihat Andi sudah berada di dalam kantornya. Setelah mengenakan jaket berhoody, Yohan bergegas mengikuti Andi. Tidak peduli hujan deras langsung menyambutnya begitu dia keluar dari mobil.

"Selamat siang, Pak." Resepsionis menyapa Yohan. "Maaf, Pak Andi sedang tidak mau diganggu, Pak. Beliau setelah ini ada rapat dengan ... Pak, Pak, tunggu, Pak."

Sapaan resepsionis itu seperti angin lalu. Yohan sama sekali tidak merespon malah terus berjalan ke arah ruangan Andi. Dia tahu di mana ruangan sahabatnya karena dulu pernah mengantar Jo.

Setelah mengetuk Yohan langsung menerobos. Seperti yang diduga Andi kaget melihatnya. Lelaki bersetelan abu-abu itu menatapnya dengan tajam.

"Maaf, Pak Andi saya tadi sudah memberitahu kalau Bapak sedang tidak bisa diganggu." Si resepsionis yang gugup sudah berdiri di ambang pintu. Ekspresinya ketakutan.

"Nggak apa-apa. Tolong tutup pintunya. Saya nggak mau nerima tamu dulu," perintah Andi dingin.

Si resepsionis mengangguk patuh dan menutup pintu dengan terburu. Setelahnya, ruangan berukuran 5x5 meter itu sepi. Yohan masih berdiri, sementara Andi duduk seraya menyilangkan kaki. Matanya yang lelah menghujamkan tatapan tidak bersahabat pada Yohan.

"Aku sudah bilang, aku nggak akan melepaskan Venita, Yo. Untuk perempuan seperti dia aku rela kehilangan sahabat," ucap Andi dingin.

"Sama. Untuk Venita gue rela jadi rival elu."

Andi tersenyum sinis. "Aku dan Venita sudah menjalin hubungan. Kamu nggak punya kesempatan. Lagian dari dulu kamu bilang Venita bukan kriteria kamu, kan?! Jangan menjilat ludah sendiri, Yo."

"Gue memang bilang dia bukan kriteria gue. Tapi, gue nggak pernah bilang nggak akan jatuh cinta sama dia ya, Ndi. Gue nggak pernah menjilat ludah sendiri. Gue jatuh cinta. Itu aja."

"Aku juga jatuh cinta. Dan nggak main-main sama Venita. Malam ini aku mau melamar. Di-Semilir-Angin. Apa staff kamu nggak ngasi tahu kalo aku sudah booking tempat di sana?" Andi menarik sudut-sudut bibirnya. Memamerkan senyum kemenangan. Senyum mengandung sindiran yang mengancam.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang