Bab 16. Kania dan Kekacauan

218 43 4
                                    

Bismillah,

Yohan mencoba membuka mata. Tubuhnya terasa remuk karena semalaman tidur di jok mobil. Sama sekali bukan tempat yang pas ketika seharian dia memaksa tubuhnya melakukan banyak kegiatan. Ditambah pikirannya yang diperas. Berkutat antara memikirkan Venita dan kondisi kafe yang masih kembang kempis.

Seraya mencoba bangkit dari jok, Yohan memaksa matanya untuk membuka lebih lebar. "Astaghfirullah!" pekiknya ketika menemuka Kania sudah berdiri di dekat pintu depan mobil. Gadis itu tersenyum menatap Yohan tanpa kedip. "Lu ngapain sih tiba-tiba di situ?! Ngagetin tahu, nggak?!"

Kania terkekeh. "Maaf, maaf. Aku baru mau bangunin Mas Yohan. Tapi kok tidurnya pulas banget, makanya nggak tega bangunin."

Mengabaikan penjelasan Kania, Yohan mengecek arlojinya. Jam digital itu menampilkan angka empat. Yohan mengumpat dalam hati karena dia ketiduran cukup lama. "Lu udah lama bangun?"

"Udah." Kania mengangguk masih dengan mata tertuju pada Yohan. "Oh ya, Mas makasih ya sudah nyelimutin aku. Dingin banget tadi malem. Syalnya udah aku lipat, tuh aku taruh di jok tengah," ucap Kania sambil menunjuk syal dengan dagunya. "Tadinya mau aku bawa pulang, mau aku cuci dulu."

"Nggak usah. Lu urusin aja Ibu elu. Rawat dia biar cepet sembuh," tolak Yohan. Dia sudah duduk tegak dan mengembalikan posisi sandaran kursi seperti semula. "Sementara lu nggak usah kerja dulu," lanjutnya.

"Loh?! Aku bisa tetep kerja kok, Mas. Kamala bakal gantian jagain Mama sama aku. Aku jagain Mama malam, Kamala siang sampe sore," terang Kania panjang lebar. Wajahnya menyiratkan permohonan.

"Ya udah terserah elu." Yohan menekan tombol starter setelah mengusap wajahnya. Kantuk masih menggelayuti matanya. "Gue mau pulang dulu. Sorry nggak bisa lama-lama di sini. Gue butuh kasur."

Mulut Kania terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia mengarahkan tatapan sendu pada Yohan yang sama sekali tidak balas menatapnya.

Tangan Yohan sudah hendak menarik tuas perseneling ketika tangan Kania hinggap di bahunya. Yohan terpaksa menoleh walaupun ngedumel dalam hati.

"Ada apa?"

"Anu ... eng ... Mas aku bisa minta tolong?"

"Apa?" tanya Yohan tidak sabar. Tapi masih sadar untuk melembutkan nada bicaranya melihat ekspresi Kania yang nyaris menangis.

"Boleh ... pinjam uang dulu? Aku sama sekali nggak punya pegangan, Mas. Gajiku dibuat bayar utang. Sama bayar tagihan ini itu. Mas tahu, kan, Mama cuma pensiunan. Gajinya kecil banget, Cuma cukup buat makan. Itu pun pas-pasan."

Ck, ada-ada aja ini cewek. Gue mau nolak juga nggak tega. Keinget Mbak Yuanita sama Yuki kalo udah gini.

"Berapa?"

"Ehm ... dua ... juta ... kalo ada, Mas. Kalo nggak ada satu juta juga nggak apa-apa," kata Kania takut-takut.

"Ya udah, ntar biar gue tranfer ke rekening gaji lu. Udah ya, gue cabut." Yohan tidak menoleh lagi. Khawatir kalau dia melihat Kania lebih lama hatinya bisa semakin luluh.

Sembari menyetir pulang, Yohan terbayang Kania dan kehidupannya yang nyata sekali berantakan. Keadaan ekonomi gadis itu bisa ditebak dengan mudah. Ditambah lagi dengan hubungan percintaannya yang kurang beruntung. Diam-diam ada simpati yang tumbuh di hatinya.

Sosok kakak dan adik perempuannya muncul di kepala Yohan. Yuanita, kakaknya sudah bercerai. Setelah lima tahun menikah dan hidup dengan kondisi yang tidak jauh beda dengan Kania. Kakaknya tidak pernah bercerita bagaimana ruwetnya rumah tangga yang dibangunnya dengan Arman, sang mantan suami. Setelah di PHK Arman tidak bisa lagi menyokong keuangan rumah tangga dan berubah menjadi kasar. Selama dua tahun Yuanita menjadi sasaran kekerasan mantan suaminya. Kakaknya tidak pernah menceritakan penderitaannya. Hingga suatu hari Yohan memergoki Arman sedang memukuli Kakaknya.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang