Bab 18. Tahap Serius

193 42 7
                                    

Bismillah,

Setelah sepanjang jalan menyetir dengan kepala penuh dan hati galau, akhirnya mobil berwarna bronze metallic itu memasuki area parkir rumah sakit. Yohan menarik rem tangan, lalu menopangkan satu tangannya ke pintu. Melamun. Meraba-raba kenapa Venita tadi mendadak pergi setelah mereka melalui momen saling tatap.

Keriuhan di area sekitar rumah sakit semakin membuat Yohan tidak senang. Walaupun sebenarnya hari itu cerah. Langit begitu biru dan gumpalan awan gemuk terlihat di sana-sini. Angin yang berhembus menggoyangkan ranting pohon Pucuk Merah begitu lembut. Kontras dengan terik matahari yang menyengat.

Cuaca seperti hari ini seharusnya membuat suasana hati yang kelabu menjadi cerah. Sayangnya hal itu malah tidak berdampak apa-apa pada Yohan. Dia sedang disibukkan dengan raut ceria Andi tadi.

"Mas ayo turun," ajak Kania menyadarkan Yohan dari lamunan.

"Turun?" kening Yohan berlipat.

"Iya. Emang Mas Yohan mau nunggu di parkiran? Panas, loh," ucap Kania dengan nada merayu.

"Gue mau langsung balik ke kafe. Banyak urusan. Lu nggak usah balik kafe." Ekspresi membesi mendominasi wajah Yohan yang terlihat letih. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Dia kurang tidur. Berbagai masalah berseliweran di otaknya.

Kafe yang pengunjungnya masih minim. Andi yang dibayangkannya sedang makan siang ditemani Venita. Ditambah lagi Yohan galau dan penasaran tentang lelaki itu. Lelaki yang beberapa malam lalu berhenti di depan rumah Venita.

Dia yakin lelaki itu bukan Andi.

"Ehm ... jadi ... gini, Mas. Mama nanyain Mas Yohan terus. Dia katanya pengen ketemu Mas sebentar aja. Pengen bilang terima kasih."

Yohan berdecak. Mengusap kasar mukanya yang terasa panas. "Lain kali aja," tolaknya.

Kania menunduk. Menggigit-gigit bibirnya sambil meremas dua tangan. Lalu menyelipkan rambut yang tergerai ke belakang telinga. "Sebenernya ... aku takut, Mas."

"Takut kenapa?"

"Tommy ... kemarin ke sini," gumam Kania takut-takut.

Hembusan napas berat Yohan terdengar. Kalimat Kania menyentuh tepat di bagian hatinya. Ketika melihat bagaimana Tommy berlaku kasar pada Kania, Yohan teringat Kakaknya yang dulu mengalami hal serupa. Hal itu menggugah sifat protektifnya.

"Oke, gue temenin lu, masuk. Tapi gue nggak bisa lama. Lu bisa pulang sama Kamala atau cari cara aman."

Kania mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Yohan masih bisa melihat mata gadis itu berkaca-kaca sebelum Kania menghapusnya dengan punggung tangan. Tanpa menunggu lagi Kania turun dari mobil, lalu berputar ke sisi pengemudi. Membukakan pintu untuk Yohan.

Ya kali gue putri.

Yohan bersungut-sungut dalam hati. Kania kadang lebay.

Yohan baru menutup pintu mobil ketika didengarnya celotehan riang seseorang. Suara yang sangat dikenalnya. Suara perempuan yang pernah menghuni hatinya selama satu tahun. Celotehan itu ditingkahi tawa dan suara seorang lelaki.

Yohan menoleh tepat ketika Lucia dan Ade lewat di depannya.

"Yo," sapa Ade yang refleks berhenti berjalan. Lucia juga begitu. Dia langsung merapat pada suaminya dan memasang tampang masam.

Membalas sapaan Ade hanya dengan mengangkat dagunya sedikit. Yohan berusaha keras tersenyum. Tapi bibirnya serasa kaku. "Ada yang sakit?" tanyanya otomatis. Dia langsung menyesal karena bertanya.

"Oh, enggak. Cia mau ke dokter kandungan." Ade tersenyum tipis. Terlihat sekali wajahnya cerah.

Brengsek. Jadi ini monyet dua sudah mau jadi Papa Mama gitu. Pengkhianat memang bahagia!

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang