Bismillah,
Waktu seperti berlari cepat. Tidak terasa penghujung tahun sudah di depan mata. Hujan semakin sering mengguyur. Daun-daun yang rontok dan jalanan yang basah menjadi pemandangan sehari-hari. Sejak pagi matahari sudah bersembunyi. Mendung tebal terlihat di berbagai sudut.
Venita melamun seraya menggenggam secangkir kopi yang baru diseduh. Melabuhkan tatapan ke arah area persawahan yang diselimuti batang-batang jagung, pikirannya berkelana. Tarian padu daun memanjang yang bergerak lembut memanjakan matanya. Ditambah hujan yang mulai mereda, suasana di kantor tempatnya bekerja semakin syahdu.
Terbayang wajah kusut Yohan beberapa minggu ini, Venita bertanya-tanya. Tidak berani langsung menginterogasi Mas Boss yang lebih sering kelihatan bete, dia diam saja. Walaupun rasanya tidak tega melihat Yohan seperti menanggung beban sendirian.
Dia tahu kondisi keuangan kafe belum membaik. Biaya promosi sangat membebani kafe. Ditambah salary grup musik dan fix cost, Semilir Angin bisa dibilang megap-megap. Venita sudah melihat bagaimana Yohan berusaha mendapatkan investor, tapi rupanya belum bisa mengatasi masalah. Pokok permasalahan Semilir Angin adalah belum bisa menarik pengunjung cukup banyak untuk menutup pengeluaran.
Menghela napas lalu meletakkan cangkir kopinya. Venita memutuskan mulai bekerja. Seminggu terakhir ini dia berpikir sebaiknya kafe menggunakan konsep lain untuk materi promosi. Karena itu setiba di rumah Venita begadang. Meriset beragam video promosi kafe-kafe yang konsepnya serupa dengan Semilir Angin.
Sama sekali tidak meyadari kalau selama dia bekerja, Yohan setia menemani di bawah jendela kamarnya. Kehujanan dan keanginan. Sendirian dengan hatinya yang patah.
Pintu berderit. Terbuka lalu menutup. Langkah kaki teredam terdengar. Venita sudah tahu siapa yang datang.
"Ven."
Panggilan itu membuat Venita menoleh, masih dengan satu tangan menopang dagu. Dia terkesiap. Alisnya yang bagus bertaut. Selama beberapa detik dia kehilangan kata-kata karena debaran jantungnya yang sontak meningkat.
Yohan mengulurkan buket berisi cokelat yang dihias cantik. Tidak mencolok, tapi sangat manis.
"Buat ... saya, Pak?" tanya Venita dengan heran.
"Iyalah buat elu. Buat siapa lagi?" ucap Yohan sambil memerhatikan sekeliling. Seolah ingin memberitahu Venita kalau tidak ada orang lain di sini.
Berdehem, lalu berdiri dengan kaku. Tangannya mengulur pada Yohan. "Ehem. Te ... terima kasih, Pak." Venita merapikan hijab dengan satu tangan. Hanya gerakan ringan seperti mengelus. Hal yang sering dilakukan tanpa sadar ketika dia gugup. "Ini ... dalam ... rangka ... apa, Pak?"
Giliran Yohan yang pusing. Dia tidak tahu kenapa mendadak dapat ide membeli buket berisi cokelat. Dia juga tidak tahu apakah Venita suka cokelat. Yohan hanya sedang bersemangat saja sejak Yuanita menceramahinya panjang lebar. "Mungkin ... Prisa suka cokelat. Gimana kabarnya dia? Dia lucu, gue sempat ngobrol sebentar waktu elu ... ehem ... jadian sama Andi."
Menggigit bibir, lalu menunduk dan menyentuh hijabnya. Venita merasa bersalah mendengar Yohan mengucapkan kalimat 'jadian sama Andi'. Menurutnya ada nada getir ketika Mas Boss mengatakan itu. "Prisa ... baik ..., Pak. Nanti saya sampaikan cokelatnya. Terima kasih ... sekali lagi, Pak."
Yohan mengangguk. Tidak sanggup mengatakan apa-apa karena mendadak lidahnya kelu. Dia berjalan menuju pintu ke balkon. Bermaksud merokok untuk meredakan salah tingkah akutnya barusan.
Detik berikutnya, lelaki itu berbalik. "Ehem ... Ven. Lu ... ada acara nggak siang ini? Kalo enggak ada ... kita makan siang bareng? Gue pengen ke resto Jepang baru di daerah Soehat. Lu juga bisa sekalian lihat-lihat konsep restonya. Gue denger resto itu cukup rame dan gaya promonya oke," cerocos Yohan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Match
Roman d'amourWattpad Romance ID March Reading List Nggak sesuai kriteria! Kalimat yang sering diucapkan Yohan jika berurusan dengan masalah jodoh. Gara-gara kriteria yang dibuatnya Yohan malah terpuruk karena patah hati. Perempuan yang menurutnya memenuhi kriter...