Bab 8. Pernikahan Duo Pengkhianat

323 53 7
                                    

Bismillah,

Dua bulan berjalan lambat bagi Yohan. Seolah-olah dunia sedang memusuhinya karena berita pertunangan Lucia dan Ade menyebar cepat. Rasanya seluruh sudut kota membicarakan dua orang itu entah dengan nada kagum atau geram.

Sebaliknya, Yohan tidak bisa menutup telinga. Dia mendengar bisik-bisik tentang dirinya. Bagaimana teman-teman menatapnya iba dan mengira-ngira apa yang membuat Yohan didepak Lucia. Walaupun yang terjadi sesungguhnya Yohan-lah yang mengucap kata putus.

Seperti kebiasaan yang rutin dilakukan beberapa bulan terakhir, Yohan sedang merokok di balkon kecil. Memberikan matanya yang lelah privilege dengan berlama-lama menatap sawah yang menghijau. Balkon ini menjadi tempat teraman sejak dia dikhianati Lucia. Tempat dia bisa lari dari pandangan kasihan dan pertanyaan yang menyiratkan keusilan.

Tempat dia bisa berdekatan dengan Venita.

Shit! Gue nggak mungkin suka sama dia, kan?! Bener-bener jauh dari kriteria.

Yohan menyedot rokoknya. Sementara batinnya masih mendengungkan percakapan yang berisi pertentangan. Sekarang ini dia tahu rasanya jadi Joaquin. Masih untung dia belum menikahi Lucia. Tidak memergoki gadis itu seranjang dengan selingkuhannya.

Rupanya menjadi Joaquin jauh lebih sakit! Yohan merasa sedikit beruntung.

"Pak." Venita membuka pintu yang menuju ke kantor.

Yohan hanya memutar lehernya. Tidak berbalik. "Kenapa?"

"Ada ... tamu," ucap Venita ragu.

"Gue nggak ada janji ketemuan sama siapa-siapa hari ini." Yohan kembali menatap kejauhan. Menyulut batang rokok kedua.

Jari Venita menyentuh jilbabnya. Seolah membetulkan kain yang sebenarnya sudah rapi. "Hm ... memang bukan ... urusan ... kerja, Pak."

"Ya udah, lu tinggal bilang gue sibuk. Susah amat," putus Yohan. Masih membelakangi Venita.

"Tapi ..., Pak ... tamunya ... Mbak Cia," cicit Venita sambil menunduk.

Yohan langsung berbalik. Wajahnya masam. "Mau apa lagi itu perempuan?!"

"Nggak perlu over reacted ... Pak." Venita menyadari dia salah bicara dan langsung menjeda walau terlambat.

Yohan menatapnya tajam. Dalam hati mengakui kalau saran Venita benar. Dia tidak perlu menyikapi kedatangan Lucia dengan berlebihan. Malah akan kelihatan lucu dan kekanakan. Menggerutu dalam hati karena saran manajernya sering tepat sasaran.

Tanpa berbicara lagi Yohan memasuki kantor. Tidak menghiraukan Venita yang sepertinya masih ingin mengucapkan sesuatu. Baru saja sampai di ruang tamu kantor, Yohan langsung membeku. Lucia dan Ade sontak menatapnya bersamaan.

Brengsek emang! Berani-beraninya dua monyet ini datang barengan.

"Pak saya tadi mau bilang kalo Mbak Cia datang sama Mas Ade," bisik Venita dari belakang.

"Lu ngasi infonya kurang cepet." Yohan balas berbisik. Dan rasanya dia ingin bertahan dengan posisi sekarang. Posisi ketika dia dan Venita sangat dekat. Sampai-sampai wangi cologne lembut perempuan itu sampai ke penciumannya.

"Yo." Ade berdiri menyambut Yohan. Lalu mengulurkan tangan. "Apa kabar?"

"Baik." Uluruan tangan itu tidak bersambut.

Ade menurunkan tangannya dengan rikuh. Lalu saling tatap dengan Lucia. Aura tegang menyelimuti kantor yang biasanya damai itu.

"Ven, duduk sini." Yohan menggerakkan dagunya.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang