Bismillah,
Yohan membuka window blind sesaat setelah lampu bertanda seat belt dimatikan. Selintas sinar matahari memantul di jendela. Sesekali awan-awan putih terlihat di luar jendela. Sementara petak-petak hijau semakin mengecil. Napas Yohan menghembus perlahan. Letih menjalari tubuhnya.
Sebelum terbang, dia tidak menyadari betapa banyak energi yang sudah terkuras. Kehilangan Venita dan sama sekali tidak punya petunjuk tentang manajer kesayangannya adalah hal yang sangat berat.
Tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Bagas tidak memberinya ide untuk menemui Amalia. Perempuan baik hati itu membantunya berbicara dengan Andi. Pembicaraan yang membuka matanya. Ternyata selama ini dia tidak menyadari betapa Venita telah banyak berkorban untuknya. Untuk Semilir Angin.
Dan, Yohan merasa hatinya terpilin karena belum memberikan banyak untuk sang manajer. Sebaliknya dia tidak tahu apa-apa, hanya menduga-duga dan berakhir membuat Venita pergi.
Yohan memejamkan matanya yang panas. Rasanya tidak sabar menunggu pesawat mendarat. Dia ingin secepatnya menemui Erizal. Teringat pembicaraan dengan Andi gelegak amarah memenuhi dada Yohan.
"Ndi, Mama sudah siapkan makan siang." Amalia berdiri dari kursi. Melemparkan senyum tenang sembari menatap Andi.
Tanpa kata-kata pun Andi paham kalau tatapan Mamanya menyiratkan ketegasan. Itu hal yang diwarisi Andi. Dia kembali mengarahkan mata pada Yohan yang tampak tegang. Kecamuk perasaan dalam diri Andi kembali.
Tergambar lagi kepergian Venita hari itu. Perempuan itu sudah memasuki area check in dengan trolley berisi dua koper. Sementara Prisa yang memeluk beruang pink berjalan di sampingnya. Sesaat sebelum menaiki escalator menuju gate, Venita berbalik. Melepas sebaris senyum sedih.
Saat itu pun Andi sudah berperang dengan dirinya. Dia senang Venita tidak bersama Yohan, karena ada harapan kecil yang tumbuh kalau suatu saat perempuan itu akan membalas cintanya. Di sisi lain dia tidak suka melihat Venita dirundung duka. Perempuan itu terlalu berharga untuk dibiarkan bersedih.
"Andi, mau minum teh atau kopi?"
Pertanyaan Amalia membuyarkan lamunan. Dengan berat Andi melangkah menuju kursi makan dan menjawab, "Kopi saja, Ma."
Tak lama Amalia meletakkan cangkir dengan aroma kopi di samping Andi lalu berkata, "Mama ke belakang dulu ya. Ini makan siangnya." Perempuan itu melengkungkan bibir seraya meletakkan dua piring nasi, diikuti ART yang datang dengan aneka lauk.
Dengan kaku Andi menyesap kopinya. Matanya mengikuti langkah Amalia yang menghilang di balik pintu menuju halaman belakang. Gerak gerik Mamanya sudah cukup jelas untuk Andi. Perempuan berusia 60 tahun itu memintanya membantu Yohan. Dengan letih dia bertanya pada Yohan, "Ngapain kamu ke sini?"
Yohan gelisah tetapi berusaha bersikap tenang. Dia khawatir Andi tidak mau memberitahu tentang Venita. Karena itu dia mengatur sebaik-baiknya kalimat yang akan diucapkan. "Gue tahu gue brengsek. Gue sudah bikin lu sakit hati, Ndi. Tapi ... gue cinta sama Venita. Banget." Yohan menoleh pada lelaki berkemeja biru langit di sampingnya. "Dua bulan ini gue kaya orang gila nyariin Venita. Kiki suruhan gue juga nggak dapat apa-apa. Gue ... butuh bantuan lu, Ndi."
Berdetik-detik setelah itu Andi diam. Bergerak hanya untuk meminum kopinya. Lelaki itu seperti tenggelam dalam pikirannya. Yohan nyaris putus asa ketika satu kalimat terucap dari mulut Andi. "Kenapa nggak tanya sama Ayah kamu?!" tanyanya ketus.
"Bokap gue?!" Kening Yohan mengernyit. "Apa hubungannya sama Bokap gue?!" Kali ini jantung Yohan berdebar tak nyaman.
"Venita pergi karena Ayah kamu yang minta." Andi menunduk menatap cangkir kopinya. "Venita memilih untuk menyelamatkan Semilir Angin. Karena itu dia harus pergi," tambah Andi dengan suara lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Match
RomanceWattpad Romance ID March Reading List Nggak sesuai kriteria! Kalimat yang sering diucapkan Yohan jika berurusan dengan masalah jodoh. Gara-gara kriteria yang dibuatnya Yohan malah terpuruk karena patah hati. Perempuan yang menurutnya memenuhi kriter...