Bismillah,
Sudah lewat tengah malam, tapi Yohan masih termangu di atas jok motor sport-nya. Entah sudah berapa kali matanya tertuju ke arah jendela yang gelap itu. Sudah tidak terhitung juga berapa kali dia menghela napas. Dengan gusar, Yohan mengusap kasar wajahnya. Mendengkus keras, berharap gumpalan yang menyumbat tenggorokannya bisa lenyap.
Tubuhnya letih luar biasa karena seharian ini dia sudah berkeliling. Memang tidak ada ide pasti ke mana Venita akan pergi, jadi Yohan hanya menelusuri tempat-tempat yang pernah mereka datangi. Setelah acara peluncuran promo baru selesai, Yohan meninggalkan kafe begitu saja. Tidak peduli Bloom dan Acacia masih kongkow-kongkow dan hendak mengajaknya ngobrol.
Persetan dengan sopan santun! Venita jauh lebih penting. Begitu juga hatinya.
Yohan tidak sanggup untuk patah hati lagi. Apalagi kali ini bukan patah hati biasa. Kehilangan Venita bisa meruntuhkan dunianya. Karena itu dia jadi seperti orang gila hari ini. Mengendarai motornya dari satu tempat ke tempat lain. Berharap kalau di salah satu tempat itu dia akan menemukan Venita.
Tanda tanya besar memenuhi benaknya. Kenapa Venita tiba-tiba menghilang setelah mereka menghabiskan banyak momen manis bersama? Yohan mengerang karena tidak bisa menghentikan ingatannya untuk memutar lagi waktu yang mereka habiskan.
"Gue pengen kita kaya gini terus, Ven," ucap Yohan sambil menoleh pada perempuan yang duduk di sampingnya.
Venita hanya tersenyum lembut. Lalu mengembalikan pandangan pada Prisa yang sedang bermain pasir tidak jauh dari mereka.
Pasir berwarna cokelat yang mereka duduki terasa lembut. Begitu juga dengan sinar matahari. Pantai tempat mereka bercengkrama saat ini tidak terlalu ramai. Di kejauhan ombak berkejaran, berlomba mencapai pantai sebelum kembali ke tengah laut. Di sisi utara sebuah karang besar terlihat. Berdiri teguh walaupun ombak berkali-kali memukulnya.
Venita sedikit terlonjak kaget ketika jari Yohan merangkum jemarinya. Lamunannya lepas begitu saja.
"Lu mau janji nggak?"
"Janji?" tanya Venita dengan mata sedikit membulat.
"Jangan pernah tinggalin gue. Apa pun yang terjadi. Janji, ya?!" Yohan menatapnya lekat. Wajahnya serius.
Sementara Venita mematung dan menelan ludah susah payah. Dia terjebak dengan janjinya pada Erizal. Dan, kalimat yang diucapnya pada lelaki itu berdengung di dalam kepala. Sehingga dia kesulitan untuk sekadar menjawab Yohan.
"Ven, lu kenapa?"
"Iya, Mas. Saya janji." Buru-buru Venita menjawab dan balas meremas jemari Yohan. Sementara dalam hati ribuan kata 'maaf' dilontarkannya tanpa suara.
"Kalo lu pergi, gue bakal cari lu. Gue nggak peduli kalo lu udah punya cowok lain. Gue pernah ngerebut elu dari Andi. Nggak akan sulit untuk ngerebut lu lagi. Ngerti?!" Yohan terkekeh. "Gue serius, Ven," tambahnya sambil menyentuh ujung hidung Venita.
Seperti yang sudah-sudah, Venita hanya membalas dengan senyum lembutnya.
Detik itu Yohan tersadar. Mengingat-ingat ekspresi Venita dan responnya saat itu. Seolah-olah dia mendapat pencerahan. Mulai merunut sejak kapan Venita menjadi aneh dan sering melamun, Yohan merasakan debaran di jantungnya.
"Ada sesuatu yang gue nggak tahu ya, Ven?! Tapi apa?! Kenapa lu nggak cerita?" Yohan menggeram sendiri. Mengacak rambutnya kasar dan menyadari kalau kepalanya sakit. Dia tahu sebabnya. Seharian ini dia belum makan.
Masih bertahan di posisinya, Yohan mengabaikan denyut di kepala. Dia masih ingin memastikan kalau Venita memang tidak ada di rumahnya. Jendela itu masih sama. Gelap dengan tirai yang ditutup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Match
RomantizmWattpad Romance ID March Reading List Nggak sesuai kriteria! Kalimat yang sering diucapkan Yohan jika berurusan dengan masalah jodoh. Gara-gara kriteria yang dibuatnya Yohan malah terpuruk karena patah hati. Perempuan yang menurutnya memenuhi kriter...