Bismillah,
"Mamaku mau ulang tahun juga, Ven. Aku boleh minta bantuan kamu?" Sorot hangat memancar dari mata Andi.
"Bantuan apa, Mas?"
"Pilih kado buat Mamaku," jawab Andi yakin. "Aku pengen beliin Mama perhiasan, tapi nggak tahu mau pilih apa. Bantuin ya?"
Seperti biasa senyum lembut khas Venita tersungging. "Boleh. Tapi ... aku nggak tahu selera Mamanya Mas Andi."
Andi menatap lurus pada perempuan berhijab itu. Merasakan gemuruh lembut di jantungnya. Sudah lama dia memerhatikan Venita, tapi tahu diri. Dia mendekati Venita untuk menjadi temannya, sampai perempuan itu membuka lagi hatinya yang pernah terluka.
Menjadi anak dari seorang singlemom membuatnya paham bagaimana lambatnya proses penyembuhan luka akibat pengkhianatan. Dia mengenali sifat menutup diri Venita di saat pertama bertemu. Perempuan itu juga menjaga jarak dengan lelaki. Andi tahu dia harus bersabar jika ingin mendapatkan hati perempuan berkulit putih ini.
"Selera Mamaku ... sama kaya selera kamu, Ven," kata Andi sambil menyunggingkan senyum.
Paras Venita didominasi penasaran. Dia tidak merespon. Seperti biasa mengandalkan mendengar untuk memahami.
"Mamaku itu orangnya sederhana, pemalu dan sangat house-oriented gitu. Gimana ya jelasinnya." Andi menggaruk ringan dagunya. "Dia dulu kerja di kantor pajak, tapi sebenernya Mama lebih suka di rumah. Sekarang Mama udah pensiun, Ven. Jarang keluar. Sukanya masak, bikin kue sama berkebun. Khususnya berkebun, itu beliau hobi banget. Pokoknya kalo lihat Mama ... aku inget ... kamu."
Mendengar itu Venita menunduk. Mendadak dia gugup. Kalau biasanya Andi hanya mengirim kode-kode halus, kali ini kodenya semakin menjurus. Sementara dia belum tahu bagaimana harus menanggapi kalau Andi benar menyatakan cinta.
"Jadi ... tolong pilihin perhiasan ... yang modelnya kamu suka, Ven."
Mendongak lalu melempar senyum tipis, Venita mengangguk. Tanpa mengatakan apa-apa dia mengalihkan perhatian pada deretan gelang emas di balik etalase. Memindai satu persatu, lalu menunjuk sebuah gelang dengan simbol mirip angka delapan di bagian tengah.
Venita meminta pegawai mengambilkan gelang itu. Dia memutar tubuhnya, menghadap Andi. "Kalo yang ini ... gimana?"
Lelaki berkemeja biru muda itu mengerjapkan mata lalu tersenyum. "Bagus. Aku suka modelnya. Tapi ngomong-ngomong kenapa suka yang itu?"
"Modelnya sederhana dan ... simbol ini ... setahuku artinya infinity. Nggak terbatas. Seperti sayang Mas Andi sama Mama. Nggak terbatas." Bibir Venita tertarik membentuk senyum.
Andi mengulurkan tangannya, meraih gelang yang dipegang Venita. Sepasang mata berwarna hitam pekat itu menatap tanpa kedip pada perempuan berlipstik warna peach. Membiarkan deburan di dalam dadanya mendominasi. Membuatnya semakin yakin kalau dia memang menginginkan Venita menjadi istri.
Sama kaya perasaan aku sama kamu, Ven. Nggak berbatas.
@@@
Yohan melangkah sambil menghentakkan kakinya. Bagas yang baru selesai menyiapkan flat white langsung mengernyitkan kening. Sejak pergi mengikuti Venita seminggu yang lalu sikap Yohan semakin aneh. Seingat Bagas, boss-nya kembali menjelang jam sembilan malam. Lalu mengurung diri di balkon favoritnya,
Sensor kekepoan Bagas sudah lama tergelitik, tapi belum berani bertanya. Besoknya Yohan marah-marah ketika ada briefing pagi. Mengeluhkan pengunjung yang belum naik juga setelah biaya promosi yang cukup besar.
Melihat Yohan hari ini, Bagas merasa sudah waktunya dia bertanya. Suasana kerja yang tidak enak tidak bisa dibiarkan berjalan terlalu lama. Hal itu seperti berdampak pada kafe yang kembali sepi. Hanya ramai pada malam minggu ketika Bloom manggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Match
RomanceWattpad Romance ID March Reading List Nggak sesuai kriteria! Kalimat yang sering diucapkan Yohan jika berurusan dengan masalah jodoh. Gara-gara kriteria yang dibuatnya Yohan malah terpuruk karena patah hati. Perempuan yang menurutnya memenuhi kriter...