Bab 26. Gotcha!

211 38 2
                                    

Bismillah,

Iqbal menatap Venita tanpa kedip, menunggu jawaban. Karena tak kunjung ada suara akhirnya lelaki itu berjalan ke kursi di samping Andi. Menghempaskan tubuh dan memasang tampang masam sembari memindai Andi.

Suasana yang tadinya menyenangkan langsung berubah. Senyum Venita pudar, begitu juga dengan ekspresi bahagia Prisa. Gadis itu merapat pada Andi dengan wajah ditekuk. Venita diam, menatap Andi lalu Iqbal. Lelaki itu sekarang duduk bersebelahan dengan Andi. Membuat Venita menghembuskan napas kesal.

Perlahan tapi tegas, Andi mengulurkan tangannya. Senyumnya yang tidak berlebihan menyiratkan ketenangan. "Saya Andi. Temannya Venita."

Iqbal mendengkus. Tidak berniat menerima tawaran jabat tangan dari pria di depannya. Lalu dia menangkap ekspresi tidak senang putrinya. Dengan terpaksa lelaki itu ikut mengulurkan tangan. "Iqbal, Ayahnya Prisa."

Andi mengangguk sedikit, masih dengan senyum terpatri. Biasa menghadapi berbagai macam orang dan menghabiskan waktu di pengadilan, mengajarkannya untuk tidak terintimidasi. Lelaki itu mengerti kalau Iqbal cemburu.

"Kamu pulang naik apa?" Iqbal mengarahkan mata pada mantan istrinya.

Lagi-lagi Venita mengunci mulutnya. Hanya matanya yang tertuju pada Andi.

Bukan urusan kamu!

Dia menggeram dalam hati. Sikap Iqbal yang kembali mendekat bukannya menciptakan simpati. Sebaliknya hal itu mengorek luka yang belum sepenuhnya sembuh. Venita jadi teringat lagi bagaimana Iqbal mengabaikannya ketika mulai terjerat Vanessa. Ditambah lagi saat Patra sakit parah dan dia kebingungan sendiri seraya merawat anaknya. Iqbal malah sama sekali tidak muncul.

"Aku bisa nganterin kamu dan Prisa pulang." Iqbal mencoba tersenyum pada mantan istrinya.

Disambut gelengan dan ekspresi wajah dingin. "Nggak usah, Makasih."

Lelaki beralis tebal itu diam dengan lipatan halus terlihat di keningnya. Iqbal sedang mencoba melancarkan bujukan lain untuk meluluhkan hati Venita dan putrinya. Dia beralih pada Prisa yang menempel pada Andi. Dadanya bergemuruh melihat kedekatan putrinya dengan lelaki asing itu.

"Prisa, Pepi bawain boneka browny buat kamu. Ikut ke mobil Pepi, yuk. Kita ambil bonekanya." Senyum manis Iqbal muncul, tetapi ketegangan terlihat di wajahnya.

Mata sayu Prisa tertuju pada Mamanya, lalu mendongak menatap Andi. Seolah meminta persetujuan. Setelah beberapa detik sunyi, Prisa menggeleng lemah. Bibirnya cemberut.

"Sayang, kita ambil bonekanya di mobi Pepi. Terus pulang bareng Om Andi. Gimana? Usul Venita sambil meraih satu tangan Prisa. Menatapnya hangat seraya mengelus kepala gadis kecilnya.

Prisa mengangguk semangat. Wajahnya murungnya tersapu saat itu juga. "Om ayo," ajaknya pada Andi.

Andi masih sempat menatap sekilas pada Venita, lalu mengalihkan matanya pada Iqbal. Lelaki itu tidak berusaha menutupi ekspresi kesal campur suramnya. Sorot mata tajamnya tertancap pada Andi.

Iqbal bangkit lalu mengulurkan satu tangan pada Putrinya. "Prisa jalan sama Pepi, yuk. Temenin Pepi ke mobil."

"Prisa mau sama Om Andi aja, Pi," tolak Prisa sambil meraih tangan Andi yang sekarang juga sudah berdiri.

Andi mendorong kursi, lalu berjongkok menyamakan tinggi dengan Prisa. "Prisa jalan sama Om sama Pepi juga gimana?"

Mata gadis kecil itu menatap Andi lurus. Memiringkan kepala dan siap membuka mulut. Tapi Andi lebih sigap. "Om nggak bakal ninggal Prisa, kok. Oke?!" Tangan Andi terangkat, meminta toss dari gadis cilik berwajah mirip Iqbal itu. Prisa akhirnya mengangguk walaupun lemah.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang