Bab 44. Serangan Andi!

80 10 0
                                    

Bismillah,

"Mama." Prisa menghambur ke pelukan Venita.

Teras yang asri itu diliputi suasana canggung. Iqbal melirik tajam Yohan. Sebaliknya Yohan juga tidak menutupi kalau dia memerhatikan Iqbal. Otaknya berputar pada kejadian sebelum dia memulai hubungan dengan Venita.

Ini kayanya laki-laki yang gue lihat malem-malem. Siapa sih dia?!

Sebenarnya sudah tidak sabar untuk bertanya, tapi Yohan menahan diri. Terbiasa dengan Venita yang tidak terburu-buru, dia pun mulai beradaptasi. Sadar Iqbal terus-terusan mengirimkan tatapan tidak bersahabat, Yohan memalingkan wajah pada Prisa. Melambai ringan dan tersenyum.

Gadis cilik itu balas menatap Yohan dengan datar. Ekspresi wajahnya memancarkan tanya. Prisa mendongak pada Mamanya dan bertanya," Kok yang nganterin Mama bukan Om Andi?"

Seperti ada yang mencubit hati Yohan. Gadis cilik ini begitu menyayangi Andi. Lagi-lagi Yohan menyadari kalau Andi memang lawan berat. Saat itu juga kepalanya memikirkan bagaimana cara meraih hati Prisa.

Sementara Iqbal tidak bisa menutupi kekacauan hatinya mendengar nama Andi disebut putrinya. Dia mendengkus lalu membuang muka.

Satu alis Yohan terangkat mengetahui itu. Semakin bertanya-tanya tentang identitas lelaki yang sekarang menampilkan mimik masam.

Jangan-jangan saingan gue bukan cuma Andi.

"Om Andi lagi kerja, Sayang." Venita menurunkan tubuhnya sehingga bisa berhadapan dengan Prisa. "Prisa masih boleh, kok nelepon Om Andi," ucapnya sambil tersenyum menenangkan.

Celakanya hati Yohan semakin ketar-ketir mendengar itu. Tentu saja dia tidak rela membayangkan Venita akan menelepon sahabat sekaligus rivalnya itu. Belum lagi lelaki yang sekarang terlihat gelisah di sampingnya. Yohan hampir saja tidak bisa mengendalikan diri.

"Prisa masih ingat sama Om Yohan?" Venita berdiri dan memberi kode dengan mata pada Yohan.

"Hey, Om pernah ketemu Prisa di kafe. Ingat?" Sekarang Yohan berjongkok. Melihat Prisa mengangguk ragu saja Yohan sudah senang. Paling tidak gadis cilik ini menanggapinya. "Prisa suka ... es krim, kan?" Yohan memuji diri sendiri dalam hati karena ingat kesukaan gadis kecil itu. Walaupun ingatan itu menyelipkan memori ketika dia melihat Venita tertawa lepas bersama Andi. Lagi-lagi hatinya terpilin.

"Suka," jawab Prisa dengan raut enggan.

"Oke, nanti kita makan es krim, yuk." Yohan menyentuh lembut kepala Prisa.

Suara deheman Iqbal mengakhiri adegan itu. Raut tidak senang diperlihatkan jelas. "Ven, bisa kita bicara berdua?"

"Boleh. Tapi nggak berdua." Venita melempar tatapan pada Yohan. "Mas, masuk dulu yuk," ajaknya dengan senyum menghiasi bibir. Mengabaikan tampang pahit Iqbal, Venita melenggang santai ke dalam rumah.

Ajakan itu disambut Yohan dengan suka cita. Setelah mengiyakan dia mengikuti Venita masuk ke ruang tamu. Memilih kursi tepat di samping Iqbal demi menjauhkan Venita dari lelaki yang belum dikenalnya ini.

"Ven, aku mau ngajak Prisa jalan-jalan." Iqbal membuka suara begitu sudah menghenyakkan tubuh di kursi. Ekor matanya mengawasi Yohan.

"Boleh, kalo Prisa mau," jawab Venita tenang.

"Kamu nggak baca wa-ku? Kenapa kamu jadi nggak kooperatif gini, sih?" dengkus Iqbal.

"Aku cuma niru kamu, Mas. Sejak selingkuh dulu kamu jadi nggak kooperatif." Tatapan tenang Venita seperti pedang yang menghunus dada Iqbal. Lelaki itu semakin kesal.

"Tolong jangan mengungkit masa lalu di depan orang asing," balas Iqbal tajam seraya melirik Yohan tidak senang.

"Mas Yohan bukan orang asing."

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang