Bab 43. Kriteria: Perempuan yang Menjaga Dirinya

97 13 0
                                    

Bismillah,

"Ini namanya beef apa, Mas?"

"Beef with love." Yohan membalas dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya menatap Venita lekat seraya mengunyah nasi dan daging lada hitam masakannya.

"Mentang-mentang lagi jatuh cinta," ucap Venita geli.

"Emang lu enggak jatuh cinta?"

"Enggak pake jatuh sudah cinta." Kali ini Venita tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

Tidak tersenyum, tapi terlihat sekali kalau Yohan berbunga-bunga karena ucapan perempuan di sampingnya. Tangannya menyendok daging berwarna cokelat hasil olahannya di dapur. Lalu mengulurkan sendok pada Venita. "Makan yang banyak, lu tuh terlalu kurus. Ntar dikira gue nyiksa elu lagi."

Venita menurut, membuka mulut menerima suapan Yohan. Setelahnya mereka saling memandang dan membiarkan ruang makan diselimuti sunyi. Suara kemericik hujan yang menyentuh kaca jendela membuat keduanya tenggelam dalam sepi yang manis.

Tidak terasa sore mulai datang. Sejak ditinggal Yuanita siang tadi, Yohan dan Venita menghabiskan waktu berduaan. Yohan memasak dan Venita mengamati. Sesekali mengambilkan peralatan yang diperlukan Mas Boss, karena lelaki itu tidak mengijinkannya ikut repot membantu. Hari ini dapur menjadi tempat kencan paling spesial untuk mereka.

Menyadari kalau kedekatan itu dimulai dari momen di kitchen kafe, kebersamaan siang itu seperti memutar kembali awal keduanya saling mengungkap perasaan lewat sentuhan. Seakan sengaja ingin mengingatkan Venita pada peristiwa malam ketika mereka terjebak hujan, Yohan beberapa kali menyentuh pipi perempuan itu. Membuat Venita salah tingkah dan tersipu. Hal yang dulu pernah dialaminya ketika jatuh cinta pada Iqbal.

Venita menyodorkan cangkir berisi kopi tubruk. Dengan mata masih tertuju pada sang manajer, Yohan menerima minuman itu lalu menyesapnya. Setelah meletakkan cangkir dia berkata, "Lu mau bicara apa?"

"Kok Mas Yohan tahu saya mau bicara?!" Venita menampakkan raut heran.

"Gue hafal sama ekspresi lu yang satu itu."

Tergelak pelan seperti kebiasannya, Venita masih belum paham bagaimana Yohan bisa mengamati ekspresinya. Dia menautkan jemarinya dengan jemari Yohan. Meremas lembut sembari membelai ringan lengan Yohan. "Kita ... harus bicara sama Mas Andi."

Helaan napas berat terdengar dari mulut Yohan. Topik itu rumit tapi harus segera diselesaikan. Kalimat Andi terngiang lagi dan Yohan takut sahabatnya itu benar-benar tidak mau mengalah. Dia tahu sejak awal Andi memang tertarik pada Venita. Lelaki itu juga sudah lama berusaha untuk meraih hati sang manajer dengan cara khas Andi yang teratur dan tidak terburu-buru.

Jelas Andi tidak akan mengalah begitu saja. Apalagi setelah Yohan melihat betapa istimewanya Venita.

"Biar gue yang bicara sama Andi. Ini urusan laki-laki, Ven."

"Saya juga salah, Mas," tukas Venita.

"Gue yang salah karena jadi pebinor."

"Kalo saya nggak nerima cinta Mas Andi ini semua nggak akan terjadi. Saya penyebabnya," Venita bersikeras.

Yohan menautkan alis. Mendadak fragmen malam itu melintas. Dia penasaran sejak lama dan tidak dapat menahan mulutnya untuk bertanya. "Kenapa lu terima cinta Andi?"

Berdehem lalu membetulkan posisi duduknya. Venita sempat ragu untuk menjelaskan. Sayangnya sudah terlanjur. Kalau tidak dijawab Yohan pasti akan mencecar. "Dia ... baik. Prisa suka sama Mas Andi. Dia juga ... gampang untuk dicintai. Sangat melindungi, bertanggung jawab dan perhatian banget sama—"

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang