Bab 36. Your Touch

176 31 2
                                    

Bismillah,

Berdiri di balkon yang diselimuti gelap, Yohan mengarahkan matanya yang berat ke area persawahan. Di siang hari yang cerah dia akan dimanjakan pemandangan dengan warna dominan hijau menghampar. Begitu menyejukkan mata. Sayangnya, malam ini tidak ada apa pun yang terlihat.

Mendung dan gerimis tipis sudah turun sejak pagi. Sekarang rintik kecil itu sudah berubah menjadi hujan. Otomatis kafe menjadi sepi. Jumlah pengunjung yang datang hari ini bisa dihitung dengan jari. Apalagi The Acacia yang seharusnya perform mendadak membatalkan jadwal. Tiga personelnya sedang flu berat.

Menghembuskan napas sambil berharap beban yang memberati pundaknya berkurang, Yohan menyulut rokok. Perkembangan Semilir Angin masih jauh dari harapan. Mencari investor rasanya bukan lagi solusi.

Yohan mulai berpikir untuk menyerah.

Rokoknya masih tersisa setengah, tapi Yohan sudah menjejalkan benda itu ke asbak. Dengan gamang dia berjalan memasuki ruang kantor. Cahaya redup dan sepi menyambutnya. Suasana yang semakin membuatnya sesak.

Matanya langsung tertuju pada meja Venita.

Kosong.

Dalam hati Yohan merutuk.  Merasa semakin hari kesialan semakin menimpanya. Lelaki bermata sipit itu mengusap kasar wajahnya. Sejak Venita jadian dengan Andi dia merasa pikirannya sering tidak bisa diajak bekerja sama. Ide untuk menjalankan bisnisnya sulit muncul. Tidak seperti dulu. Ketika dia dan Joaquin mengembangkan Take Mie with You. 

Pikirannya bahkan ikut buntu dalam mencari cara untuk mendekati Venita.

Membuat sorbet guava yang dilakukannya beberapa hari lalu adalah ide Yuanita. Yohan langsung setuju karena membuat sorbet tidak sulit untuknya. Sayang, rencananya untuk menyatakan cinta berantakan. Mulutnya malah melontarkan ucapan berbeda dari yang dirangkai otaknya.

Dengan letih dia menghempaskan tubuh ke sofa. Menyandarkan kepala lalu memejam. Berencana akan menunggu di bawah jendela Venita lagi. Setelah kemarin malam absen karena hujan deras turun sejak sore.

Mendengar suara pintu terbuka, tapi Yohan tetap memejam. Berpikir kalau yang datang adalah Bagas, karena tadi dia mengirim pesan pada si barista untuk meminta kopi.

"Maaf, Pak."

Mata Yohan langsung membuka mendengar suara lembut itu. "Ven."

"Ini kopinya. Bagas lagi beres-beres di bawah." Venita meletakkan kopi di meja. Menunduk menghindari bertemu pandang dengan Yohan. "Saya mau matikan laptop dulu, Pak." Mengangguk lalu bersiap melangkah.

"Ven."

Kaki Venita tidak jadi terayun. "Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu lagi?"

"Ck, lu formal amat sih kalo ngomong sama gue. Giliran sama Andi bisa santai." Ekspresi kesal Yohan tidak bisa ditutupi. "Lu nggak bisa duduk dulu? Ngobrol yang enak gitu sama gue."

Mata Venita membulat. Perempuan berjilbab warna krem itu melihat ke sembarang arah. Seperti sedang menyiapkan jawaban. "Saya ... matikan laptop dulu ya, Pak."

"Nggak usah. Itu laptop kalo nggak dimatikan juga nggak bakal kenapa-napa. Duduk aja kenapa, sih?!"

Mengangguk kaku, lalu duduk di sofa single seat. Tepat di depan Yohan. Debaran di dadanya berpacu. Venita terpaksa menunduk. Menghindari bertatapan langsung dengan Mas Boss. Sekaligus berusaha mengatur detak jantungnya.

Berdehem, lalu membetulkan posisi duduknya. Yohan meraih kopi dan meminumnya. Dia pun sedang memerintahkan dirinya untuk tenang. "Lu pulang sama Andi?" tanya Yohan setelah meletakkan cangkir.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang