Bab 23. Sama-Sama Kecewa

201 39 8
                                    

Bismillah,

Seraya menyisir rambutnya yang lurus dan panjang menyentuh punggung, Venita termenung. Menatap cermin dengan pandangan kosong. Dia baru saja menidurkan Prisa, lalu menyiapkan bahan untuk diolah menjadi bekal besok. Selama berkegiatan pikirannya tidak bisa lepas dari Yohan.

Pemandangan yang tidak sengaja dilihatnya kemarin berimbas cukup parah. Tadinya Venita sudah yakin untuk melepaskan harapan pada Mas Boss. Tapi entah kenapa dia tidak terima melihat adegan mesra Kania dan Yohan.

Kenapa harus cemburu, sih?! Mereka emang udah serasi.

Tangan Venita bergerak lagi menyisir rambutnya. Momen ketika Yohan menceritakan tentang Yuanita diputar ulang. Dia ingat bagaimana senyapnya malam itu. Angin yang membelai dan rasi bintang orion di langit barat daya.

Malam yang layak untuk diingat kalau saja Kania tidak muncul dan mengacau.

Sejak peristiwa itu Venita memang memutuskan menjauh. Dia tidak mau menanggung resiko akan sakit hati lagi. Sudah cukup dulu dia menanggung kesedihan karena Iqbal dan Vanessa. Itu tidak akan terulang. Dia pun sebenarnya merasa sudah waktunya mencari pendamping yang memang berorientasi pada pernikahan.

Perlahan bayangan Andi muncul mengisi lamunan.

"Veni?"

Venita berbalik lalu tersenyum lembut. Andi membulatkan mata menatapnya. "Mas Andi. Sama ... siapa?" tanyanya dengan senyum tipis terpatri di bibirnya.

"Sendirian. Kamu sama siapa?" Lelaki itu bertanya balik. Matanya menyorotkan rasa bahagia.

"Aku sama Prisa. Kebetulan hari ini aku bisa setengah hari aja di Semilir Angin, Mas. Jadi ada waktu ngajak Prisa jalan-jalan. Ini tempat favoritnya Prisa, Mas," terangnya.

"Oh, gitu. Kok kesukaan Prisa sama dengan aku?" Andi tersenyum semakin lebar. Lalu melangkah menjejeri Venita yang sekarang sudah berdiri di depan kasir. "Aku yang traktir ya, Ven. Jangan ditolak." Andi memasang ekspresi pura-pura marah karena melihat Venita membuka mulutnya.

"Aku nggak enak kalo sering ditraktir, Mas," tolak Venita lembut.

"Kapan aku nraktir kamu sama Prisa?" Andi mulai menunjuk dua jenis es krim di etalase.

"Seminggu lalu kirim paket isinya cokelat. Terus, pernah juga kirim boneka beruang pink buat Prisa, sebelum itu kirim spagetti. Terus ...."

Andi terkekeh. "Mau kamu hitung sampe kapan, Ven? Apa sekalian dibuat list? Kamu pesen gih. Oh, ya Prisa suka yang bubble gum, kan?" kata Andi sambil bergeser sehingga Venita bisa lebih dekat pada etalase yang memajang es krim bermacam rasa.

"Masih inget aja kesukaan Prisa." Venita tersenyum malu-malu sambil menggeleng-geleng.

"Inget, dong. Kesukaan Mamanya juga inget. Tiramisu, kan?" Andi dan Venita tergelak bersamaan. Melihat senyuman perempuan berjilbab motif bunga-bunga itu membuat darah Andi berdesir hangat.

Jauh sebelum Venita berubah menjadi lebih percaya diri dan cantik seperti sekarang, bibit-bibit cinta sudah tumbuh di hati Andi. Melihat perempuan kikuk yang wajahnya murung waktu itu, membangkitkan kenangan di hati Andi. Dia teringat Ibunya yang patah hati karena Ayahnya jatuh cinta lagi. Gara-gara itu orangtuanya bercerai. Ayahnya menikah lagi sedangkan Ibunya memutuskan menjanda sampai sekarang.

Andi benci ketidaksetiaan. Hubungannya dengan sang Ayah tidak pernah membaik sampai saat ini. Bahkan Ayahnya pernah mengutus adik tirinya untuk menemui Andi. Mengajak Andi berdamai dengan Ayahnya. Tawaran itu ditolak Andi mentah-mentah. Walaupun akhirnya dia menjalin hubungan baik dengan sang adik yang berusia sepuluh tahun lebih muda.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang