Bab 15. Emergency

218 41 15
                                    

Bismillah,

"Mas, tolong, Mas. Mama ... Mama kena serangan jantung!" Yohan disambut Kania yang berurai air mata.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Yohan yang baru menghentikan mobil langsung menghambur ke dalam rumah mungil itu. Kania mengikuti di belakangnya. Gadis itu langsung mengarahkan Yohan ke kamar. Rosita, Mama Kania, sedang terbaring dengan kepala dipangku Kamala, adik Kania.

"Bawa ke UGD!" perintah Yohan. "Ayo," katanya tidak sabar.

Kania mengangguk-angguk. Lalu membantu Yohan memapah Mamanya. Ketika sudah sampai di luar rumah, seorang lelaki 50 tahun-an tergopoh-gopoh keluar dari rumah sebelah. Dengan sigap dia membantu Yohan memapah Rosita. Dalam hati Yohan sangat bersyukur karena tubuhnya yang letih sedikit terbantu.

Tidak lama kemudian mobilnya sudah melaju ke rumah sakit terdekat.

Sampai di UGD, beberapa perawat yang berjaga langsung menangani Rosita. Sementara Kania dan Yohan diminta menunggu di luar. Untunglah Yohan memilih rumah sakit swasta yang tidak jauh dari tempat tinggal Kania. Dia sudah tahu bagaimana pelayanan rumah sakit itu. Sehingga yakin Ibu Kania dapat segera ditangani.

"Kan, kita tunggu di situ," kata Yohan. Menunjuk kursi yang memang disediakan untuk penunggu.

Kania mengangguk patuh. Mengikuti Yohan yang langsung menghempaskan tubuhnya di kursi berwarna perak itu. Yohan menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Sosok Venita dan nada bicara formalnya diputar lagi di kepala.

Lamunannya dikagetkan dengan pelukan dan suara sesenggukan. Yohan langsung membuka mata dan mendapati Kania melingkarkan tangannya erat di pinggang Yohan. Sementara kepala Kania terkulai di bahu Yohan dan wajah gadis itu bersimbah air mata.

Yohan mematung. Seharusnya memang dia melepas tangan Kania dari tubuhnya. Tapi melihat gadis itu menangis rasanya tidak tega. Jadi Yohan tetap pada posisinya. Tidak membalas pelukan atau berusaha menjauh.

"Makasih, Mas Yohan," ucap Kania dengan suara bergetar karena tangis. "Kalo nggak ada Mas Yohan aku nggak tahu lagi harus gimana."

Sebagai laki-laki normal Yohan bisa menilai betapa menariknya Kania secara fisik. Seharusnya ada reaksi khas laki-laki ketika gadis itu menempelkan tubuhnya begitu rapat dengan tubuh Yohan. Anehnya Yohan malah merasa risih.

Dengan hati-hati dia melepaskan tangan Kania dari pinggangnya. "Sorry, gue ... nggak nyaman. Mending kita duduk ... nggak terlalu dekat."

Kania langsung mendongak. Alisnya bertemu dan sorot matanya menyiratkan kalau dia tersinggung. "Maaf, Mas. Aku cuma mau berterima kasih. Kalo Mas Yohan nggak cepet datang, aku nggak tahu lagi gimana nasib Mama."

"Iya, oke. Nggak usah lu pikirin. Sudah kewajiban gue nolong elu." Yohan menggeser duduknya. Melipat dua tangan dan menatap lurus ke depan. Sama sekali tidak menoleh pada Kania yang masih menatapnya penuh harap.

Kania terlihat sedikit kaget mendengar jawaban Yohan. Sempat terlintas kalau Yohan tertarik padanya. Tapi, kata 'kewajiban' dan penolakan Yohan atas pelukan tadi menyadarkan Kania kalau boss-nya ini ternyata hanya berniat menolongnya. Tidak ada alasan lain yang lebih personal.

"Jadi ... Mas nolong aku karena apa?"

Yohan memutar lehernya refleks. Matanya menyorot heran. "Ya karena elu pegawai gue. Gue juga wajib nolong siapa aja yang butuh ditolong. Apa lagi menurut elu?"

Kania tercekat. "Bukan karena ...."

"Ibu Kania?" Seorang perawat dengan scrub suit berwarna hijau berdiri di ambang pintu.

"Iya, saya, Sus." Kania dengan cepat berdiri. Tidak jadi melanjutkan kalimat yang baru setengah jalan diucapnya.

"Mari ikut saya, Bu," kata perawat itu.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang