Bab 32. Aku Menunggumu

195 37 5
                                    

Bismillah,

"Om Andi." Prisa berlari ke arah Andi. Laki-laki itu menyambutnya dengan dua tangan terbuka. Berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Prisa. Gadis kecil itu memeluknya erat dengan mata berbinar-binar. Sementara Venita berdiri di teras menyaksikan itu. Jantungnya berdesir.

Sore itu Venita mendapat kejutan. Andi tiba-tiba saja muncul di depan rumah. Lelaki itu sama sekali tidak memberi kabar akan datang bertamu. Hanya menelepon dan meminta Venita keluar bersama Prisa. Tidak disangka, ternyata Andi sudah berdiri di luar pagar. Menantang gerimis yang datang bersama cuaca dingin.

Seperti biasa lelaki itu selalu menyapa Prisa lebih dulu. Bukan Venita.

Selama mendekati Venita, Andi lebih banyak mencurahkan kasih sayang dan perhatian untuk Prisa. Seolah memahami kalau gadis cilik itu butuh kasih sayang dari sosok yang dianggap ayah. Tidak hanya menghujani Prisa dengan kado, tapi perhatian dan cinta yang tulus dari Andi mampu menyentuh hati gadis cilik itu.

Diam-diam Venita mengakui kalau Andi memang berbeda dari lelaki kebanyakan. Bahkan berbeda ... dengan Yohan.

"Hai, Ven." Andi menyapa Venita yang masih berdiri di teras sambil melipat dua tangannya. Kardigan putih yang dikenakannya berkibar lembut. Gerimis kecil-kecil yang datang bersama angin membelai udara sore. Venita hanya tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya pada Andi.

Dia tidak tahu kenapa sore ini tiba-tiba saja lelaki berwajah tegas ini muncul di depan rumahnya. Bagaimana Andi bisa tahu kalau hari ini dia cuti dan di rumah seharian menemani Prisa. Mereka belum bertemu lagi sejak malam The Acacia tampil perdana di Semilir Angin. Gara-gara Grace tidak muncul karena terserempet motor, Venita berperan sebagai vokalis sampai penampilan The Acacia usai. Bahkan pengunjung malah meminta Venita menyanyi terus saking terpukaunya dengan penampilan perempuan itu.

Malam itu dia mendapat kejutan dari Andi. Kejutan yang sebenarnya sudah diduga Venita.

Malam sudah sangat larut. Mobil Andi meluncur di jalanan yang sepi. Hanya satu atau dua kendaraan yang lewat. Ditambah gemericik hujan yang setia sejak dua jam yang lalu, senyap menyelimuti dengan sempurna.

Sejak mereka meninggalkan Semilir Angin di bawah tatapan suram Yohan, Andi belum membuka suara. Begitu juga Venita. Dia hanya diam sambil merapatkan jaket yang dikenakannya.

"Prisa nggak papa ditinggal sampai malam?"

Venita menoleh, menatap lelaki di sebelahnya. "Nggak apa-apa, Mas. Tadi sama neneknya."

Tidak ada balasan. Andi sudah kembali memerhatikan jalan. Menyetir dengan satu tangan, sementara tangan kanannya bertumpu pada pintu. Hanya suara ban beradu dengan jalanan basah yang sampai ke telinga Venita.

"Aku nggak tahu apa ini waktu yang tepat, Ven. Tapi aku mau bicara. Aku nggak bisa nunda lagi."

Venita sempat melirik Andi, lalu menunduk menatap pangkuan. Dua tangannya saling meremas. Di dalam sana jantungnya sedikit riuh. Dia bisa menduga apa yang akan dikatakan Andi. Walaupun sesekali merutuk diri karena bisa jadi dia terlalu percaya diri.

"Kita dua orang dewasa. Mungkin nggak perlu lagi aku jelasin panjang lebar gimana perasaanku. Aku sayang kamu. Aku juga sayang Prisa. Aku nggak ngajak kamu pacaran, Ven. Aku ingin menikah sama kamu. Kita akan mengasuh dan membesarkan Prisa bersama."

Sunyi. Hening melingkupi suasana di dalam mobil.

Sudah mengira Andi akan menyatakan perasaan sejak peristiwa ulang tahun Amelia, tapi tetap saja Venita tidak siap mendengarnya. Tidak siap juga akan menanggapi bagaimana. Kepalanya terlalu kalut memikirkan berbagai hal.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang