Bab 20. Jebakan Tommy

225 46 7
                                    

Bismillah,

Alunan biola Evelina membius pengunjung. Gadis berjilbab hitam itu sedang memainkan Memories-nya Maroon 5. Diiringi Ezra yang memainkan keyboard, duet itu membuat suasana seketika menjadi senyap. Semua mata pengunjung tertuju pada Evelina yang tenggelam dalam permainannya.

Tidak jauh dari tempat Evelina memainkan biola, Yohan ikut terpaku. Menopangkan satu tangan ke dagu, matanya terpaut pada permainan sepasang kekasih itu. Sesungguhnya dia sedang melamun. Ingatannya melayang pada saat dia dan Venita datang ke mal untuk menemui Bloom.

Rasa hangat ketika dia menggamit tangan si manajer dan tautan mata mereka. Semuanya dimainkan indah. Selaras dengan lantunan biola yang sedang melingkupi area lantai satu.

Alunan biola sudah berhenti. Evelina membungkuk sedikit pada pengunjung yang bertepuk tangan. Sekarang gadis itu meraih microphone, lalu musik intro Memories mengalun dari keyboard yang dimainkan Ezra. Tak lama suara merdu Evelina mengalun melantunkan Memories.

Yohan memutar tubuhnya. Menyapukan mata ke sekeliling ruangan. Malam minggu ini pengunjung kafe ramai. Video promosi tentang Bloom yang akan tampil di Semilir Angin mendapat respon lumayan. Yohan cukup senang walaupun di sisi lain hatinya dia merana.

Sejak dia menyelamatkan Kania hari itu, sang manajer kembali memasang jarak. Berkali-kali Yohan mendatangi Venita untuk curhat. Dia sendiri khawatir dengan Kania sekaligus dirinya sendiri. Dia tidak bisa terus-terusan menyelamatkan gadis itu. Namun tidak bisa lari dari rasa iba karena melihat Kania mengingatkannya pada penderitaan Yuanita dulu.

Pandangan mata Yohan berhenti di satu titik. Venita memegang secangkir kopi, berdiri di barisan belakang bersama Bagas. Ikut menonton penampilan perdana Bloom. Perempuan itu tersenyum tipis dan berbicara dengan Bagas. Yohan sedikit cemburu karena Bagas bisa berada sangat dekat dengan Venita. Sementara dia mati-matian berusaha dengan hasil nol.

"Mbak, cakep juga si Evelin ya," bisik Bagas. Belum menyadari kalau tatapan tajam Yohan tertuju padanya.

"Cakep tapi udah ada yang punya, Gas. Jangan jadi pebinor, deh," sahut Venita sambil menggeleng-geleng kecil.

"Nggak lah, Mbak. Aku cuma pengagum. Eh, aduh gawat!" seru Bagas tiba-tiba.

Venita membulatkan matanya. Memindai Bagas dengan penuh heran. "Kenapa, sih, Gas?"

"Mas Boss melototin aku, Mbak!"

"Loh?! Kenapa melototin kamu? Dia minta kopi ya? Belum kamu buatin?!" Venita menatap Bagas dan Yohan bergantian. Dari kejauhan lelaki itu terlihat sekali memasang tampang seram. Bahkan memberi kode pada Bagas untuk menjauh.

"Nggak, Mbak. Bukan masalah kopi. Oke, deh aku ke counter dulu ya, Mbak," pamit Bagas buru-buru.

Venita melongo. Tidak mengerti kenapa Bagas jadi aneh. Dia pun memutuskan akan naik ke lantai dua dan membawa kopinya. Memories sudah selesai dinyanyikan. Dia juga sudah mengambil beberapa foto yang bisa dijadikan konten instagram Semilir Angin.

Baru saja akan melangkah, Venita berhenti seketika. Yohan menghadangnya. Menatapnya dengan sorot terluka. Gugup langsung menguasai Venita. Dia menghindari boss-nya beberapa hari ini. Tidak sanggup berdekatan karena akan memantik harapan di hatinya. Venita memutuskan usaha dan asanya harus dihentikan.

"Mau ke mana?" tanya Yohan dingin.

"Naik ke lantai dua, Pak. Saya ada kerjaan." Venita melangkah ke samping bermaksud menghindari Yohan. Sayangnya, lelaki itu sigap. Dia menghalangi Venita.

"Gue mau ngomong."

"Silakan, Pak. Ada instruksi apa?"

"Bukan instruksi. Persetan dengan instruksi!" Yohan mengusap wajahnya. Sadar nada dan pilihan katanya kasar. "Sorry. Gue lagi nggak mau ngomongin kerjaan. Gue suntuk, Ven."

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang