Bismillah,
Sudah tengah malam, tapi Venita masih melamun di depan laptopnya. Sengaja membiarkan jendela kamarnya terbuka, sayup-sayup suara celotehan pengunjung kafe di ujung jalan sampai ke telinganya. Perempuan berambut lurus itu berbalik, memandang putri kecilnya yang sudah tidur. Prisa memeluk erat boneka beruang pink yang dibelikan Andi.
Tersenyum serasa merasakan kegelisahan merayapinya, Venita sadar Prisa semakin hari semakin tidak terpisahkan dengan Andi. Sementara hatinya yang perih masih menyimpan nama orang lain. Orang yang sama penyebab dia terluka.
Venita sempat melambung saat Yohan mengajaknya ke Bali. Ini bukan perjalanan biasa, si boss akan menemui kedua orangtuanya. Sosok yang belum pernah dilihat langsung oleh Venita. Dia hanya pernah melihat sekilas foto Ayah dan Mama Yohan di laptop ketika dia masih bekerja untuk Take Mie.
Pesimisme yang sempat memerangkapnya berminggu-minggu karena Yohan menjauh, memudar sebentar saat itu. Namun, itu hanya sekejap. Kehadiran Kania dan ucapannya yang meremas hati membuat Venita berusaha keras menghapus nama Yohan.
Teringat peristiwa itu kepala Venita ngilu. Tapi, tidak bisa dihindari. Memorinya kembali mengulang momen yang menghancurkan hati.
“Kita udah sejauh ini. Udah sedalam ini dan kamu tiba-tiba membuang aku begitu saja! Kamu lupa kita sudah ngapain aja?!”
Terkesiap, Venita menatap boss-nya. Lelaki itu pun sedang menatapnya. Yohan sudah membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Lelaki itu salah tingkah dan sepertinya tidak siap dengan serangan mendadak Kania.
Venita sendiri tidak memusingkan Kania walaupun sudah seminggu si pastry chef tidak kelihatan di kafe. Dia hanya mendengar dari Bagas kalau gadis itu berhenti. Waktu Bagas siap melanjutkan cerita, Andi datang sehingga Venita tidak tahu alasan Kania berhenti.
Tiba-tiba gadis itu muncul dengan wajah berurai air mata. Tidak ada lagi gaya berpakaian modis seperti kebiasaan Kania. Hari itu si eks pastry chef muncul dalam keadaan awut-awutan.
“Ven, lu jangan percaya dia. Dia bohong. Gue nggak pernah ada hubungan apa pun sama dia!” Mata Yohan menghujam ke arah Kania yang masih sesenggukan.
“Kamu atau aku yang bohong, Mas?! Kamu mau akting di depan Mbak Veni?! Sementara di belakang dia tingkah kamu tuh bajingan banget!”
Rahang Yohan menggeretak. Bahkan tangannya mengepal kuat. Kata-kata yang meluncur dari mulut Kania semuanya fitnah. Sialnya, Yohan tidak bisa melawan. Apa pun yang dikatakannya pasti akan dibalas Kania dengan fitnah dan kebohongan lain.
Itu sudah bisa ditebak setelah kedok penipuan Tommy terbuka. Kania dan Tommy memang sepasang kekasih yang sudah malang melintang berbuat kejahatan. Menargetkan laki-laki kaya dan berpura-pura menjadi korban kekerasan. Yohan sampai menciptakan istilah untuk kejahatan Kania-Tommy. Compassion Crime. Kejahatan yang dimulai dari rasa belas kasihan.
Untunglah dia cepat-cepat sadar karena tergugah saran Venita. Walaupun sekarang Kania membuat situasi Yohan terjepit.
“Terserah lu mau ngomong apa! Gue nggak ada urusan lagi sama lu, bitch!” Amarah Yohan meluap. Kania bukan hanya memojokkannya, tapi membuat Venita terluka.
“Ven, gue bisa jelasin. Itu nggak seperti tuduhan jalang ini. Lu harus dengerin gue, Ven.” Yohan setengah memohon. Berusaha keras melembutkan nada bicaranya yang terkontaminasi kemarahan pada Kania.
Venita melipat dua tangannya. Menunduk dan menghela napas. Selang beberapa detik dia mendongak lalu melempar senyum lembut pada Bossnya. “Pak, saya … nggak berhak menghakimi. Dan, nggak berhak mencampuri urusan Pak Yohan sama dia.” Venita mengarahkan dagunya padanya Kania. “Silakan selesaikan masalah anda … berdua.”
Setelah itu Venita melangkah. Melengos supaya tidak melihat efek kalimatnya pada Yohan. Tidak, dia tidak mau mengambil resiko merasa iba lagi pada bossnya. Sudah cukup perasaan cintanya pada Yohan membuat merana. Dia tidak mau lagi menjadi korban seperti dulu ketika Iqbal berselingkuh dengan kakak tirinya.
Saat itu dia tidak punya tujuan. Hanya ingin mencurahkan perasaan berat yang menghimpit dadanya. Venita berjalan ke area parkir. Mengambil motor lalu mengendarainya berputar-putar. Ketika rintik gerimis semakin deras menimpanya, Venita ingat dia meninggalkan jas hujannya di kafe. Kepala dan hatinya sudah lelah.
Di tengah kebingungannya, Venita melewati In Love Gelato. Perempuan itu langsung membelokkan motornya ke kedai es krim. Memarkir buru-buru lalu berjalan cepat ke dalam kedai. Dia tahu kedai ini menyediakan minuman panas juga. Berpikir kalau dia butuh waktu sendiri untuk meredakan sakit tak kasat mata gara-gara Yohan. Venita menempati salah satu kursi di area indoor. Ketika mengarahkan kamera ponsel untuk memindai bar code yang berisi menu, matanya tiba-tiba kabur.
Tanpa sadar Venita menangis tanpa suara.
“Veni? Sendirian?”
Dengan air mata berdesakan di pelupuk mata, Venita mendongak. Andi sedang menatapnya dengan kening mengernyit. Lelaki itu terlihat khawatir lalu menarik kursi untuk duduk di samping Venita.
“Kenapa, Ven?” tanya Andi khawatir.
Venita tidak tahu apa yang mendorongnya. Dan, dia tidak sadar bagaimana awalnya. Tahu-tahu kepalanya sudah bersandar di bahu Andi. Tangisnya pecah. Dengan kelebatan berbagai peristiwa menyakitkan dalam hidupnya.
Teringat kejadian itu mata Venita kembali berkaca-kaca. Parfum beraroma campuran kayu-kayuan dan buah yang dipakai Andi seperti masih tercium. Meninggalkan kesan betapa manis dan gentle pria itu. Namun, sebaik apa pun Andi, nama Yohan masih tetap merajai hatinya.
Menggigit bibir sembari teringat awal pertemuannya dengan Mas Boss, Venita membiarkan perih mengiris dadanya. Dia tahu sudah gagal sebelum memulai. Cintanya pada Yohan akan selamanya tidak tergapai.
Venita tidak tahu, laki-laki yang sedang dipikirkannya berada sangat dekat. Tepat di bawah jendela kamarnya, Yohan berdiri. Motor sport berwarna grey matte diparkir tepat di sampingnya. Sepasang matanya yang lelah menelusuri jendela terbuka di atas sana.
Berharap sosok Venita muncul sebentar saja, dan dia akan menjelaskan semua pada perempuan yang memiliki hatinya. Sayang, sampai malam hampir usai perempuan itu tidak muncul.
Yohan sendirian sepanjang malam. Sebelum memutuskan pulang ketika adzan subuh berkumandang.
@@@
Sepanjang perjalanan menuju rumah Andi, Prisa tak hentinya berceloteh. Menceritakan sekolah, teman-teman dan buku cerita yang dibacakan Mamanya. Andi menanggapi dengan antusias, bahkan dia tahu beberapa buku cerita anak-anak yang disebut Prisa.
Dalam hati Venita kagum dengan kepiawaian lelaki di sampingnya ini. Andi tidak berhenti tersenyum merespon Prisa. Lelaki itu semakin terlihat keren dan matang dengan vest rajut berwarna navy dan kemeja lengan panjang abu-abu yang dikenakannya. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Menambah kadar kegantengan Andi di mata Venita.
Masalahnya aku nggak cinta sama dia. Maaf ya, Mas.
Lagi-lagi di dalam hati Venita mengeluh. Dia kesal dengan dirinya sendiri karena tidak bisa membalas perasaan lelaki baik seperti Andi. Malah melamunkan Yohan yang beberapa hari ini tidak kelihatan di kafe. Mas boss-nya hanya mengirim pesan kalau sedang mengurus sesuatu.
Tadi ketika memberitahu Bagas kalau dia akan pergi ke rumah Andi, hampir saja Venita keceplosan bertanya ke mana Yohan. Dia yakin Bagas pasti tahu. Tapi, sekuat tenaga Venita menahan lidahnya. Khawatir Bagas akan berpikir macam-macam.
“Ven, lagi mikirin apa?” Andi menatapnya sebentar, lalu kembali fokus menyetir.
“Oh, nggak kok, Mas,” elak Venita. lalu pura-pura merapikan jilbabnya. “Kado untuk Mamanya Mas Andi udah diambil, kan?” Venita mengalihkan perhatian Andi.
“Sudah. Untung kamu ingetin kemarin. Kalo enggak aku bisa lupa.” Andi melirik Prisa yang sudah anteng di jok tengah. Gadis itu membuka buku pop-up yang sengaja dibawa Andi di mobilnya. “Ehem, kamu … baik-baik aja, kan, Ven?”
Venita yang tadinya menatap jalan, memutar lehernya menelisik Andi. Dia tersenyum lembut. “Baik, kok, Mas.”
“Kalo kamu mau … cerita atau apa, cerita aja. Siapa tahu lebih lega.” Andi menahan diri sekuat tenaga untuk tidak meraih dan meremas lembut tangan perempuan di sampingnya.
“Makasih, Mas.” Setelah itu Venita mengarahkan pandangan ke luar. Tidak ada yang menarik sebenarnya, dia hanya ingin menghindari Andi. Khawatir perasaanya pada Yohan ketahuan. Insting pengacara lelaki 33 tahun ini tidak bisa diremehkan.
Setelah melalui sesi diam selama sisa perjalanan, mereka akhirnya tiba di kediaman Andi. Rumah berpagar setinggi pinggang orang dewasa itu terlihat nyaman. Halaman mungilnya dihiasi pohon palem putri dan rumput yang dipangkas rapi.
Ketika turun dari mobil, mata Venita langsung dimanjakan dengan teras yang ditata minimalis. Sebuah rak putih bertingkat tiga dipenuhi pot-pot berisi sukulen. Pot lain dengan berukuran sedang berisi keladi berwarna campuran ungu dan merah diletakkan di sudut. Dinding yang dilapisi batu alam memiliki rak berdesain serupa yang diisi pot berukuran lebih kecil.
Adem dan terasa akrab.
“Ven, ayo masuk,” ajak Andi yang menggandeng Prisa. Dia membiarkan Venita mengamati teras dan halaman. Berharap senyum lepas perempuan itu akan terbit karena terhibur dengan pemandangan taman kecil dan teras yang didesain Mamanya.
“Ini yang ngerawat Mas Andi?” tanya Venita seperti yang sudah diduga.
Menggeleng dengan senyum kecil melekat di bibir. “Ini Mama yang nanam, Ven. Beliau suka berkebun. Ada halaman di belakang. Nggak besar, sih, tapi lumayan buat acara berkebun Mama.”
Venita menanggapi dengan membulatkan mulut. “Ngomong-ngomong yang diundang siapa aja, Mas?”
“Masuk dulu, yuk.” Andi menggerakkan kepala.
Disambut Venita dengan anggukan kecil. Lalu dia mengikuti Andi. Lelaki itu mengucap salam dan berjalan melewati ruang tamu, ruang keluarga mungil, ruang makan yang menyambung dengan dapur. Venita kagum melihat rumah rapi yang didesain cantik ini.
Andi berjalan terus ke pintu belakang. Seorang perempuan berjilbab biru muda muncul dari halaman belakang. Menyambut Andi dengan senyum yang persis sekali dengan lelaki itu.
“Ma … ini Venita. Yang aku ceritakan ke Mama,” kata Andi malu-malu.
“Oh, ini to Venita. Masya Allah cantik ya. Saya Amalia.” Perempuan berwajah ramah itu mengulurkan tangan.
Venita mencium tangan Amalia takzim. Lalu perempuan itu mencium pipi Venita seraya mengamatinya dengan mata berbinar senang. “Kita langsung ke belakang, yuk,” ajak Amalia.
“Ini Prisa ya?” Amalia beralih pada Prisa yang mengangguk. Gadis kecil itu langsung mengulurkan tangan. “Cantik juga kaya Mamanya, ya. Ikut Nenek ke belakang yuk. Ada milkshake sama kue cokelat.”
Seraya mengobrol dengan Amalia, Venita melangkah ke halaman belakang. Prisa dan Andi mengikuti di belakang mereka. Ternyata halaman belakang memang menjadi area berkebun Amalia. Beragam tanaman menghiasi halaman yang cukup luas itu. Bahkan perempuan 65 tahun itu memiliki rumah kaca mungil khusus anggrek.
Lokasi syukuran ulang tahun Amalia semakin semarak karena saudara-saudara dan keponakannya hadir tak lama kemudian. Suasana hangat dan ramah melingkupi tempat itu. Apalagi ketika teman satu geng Andi datang dengan keluarganya. Dimulai dengan Joaquin dan Mocca, lalu Haris dan Khaira ikut bergabung. Lelaki pemilik perkebunan ini bergabung dalam genk Yohan, Jo dan Andi setahun belakangan. Dimulai dari nongkrong bareng lalu ikut berbisnis.
Seorang lelaki muda datang setelahnya. Garis wajahnya mirip dengan Andi walaupun kulitnya lebih cerah. Lelaki itu membawa buket mawar besar dan menyerahkannya pada Amalia.
“Ini Andra, adikku. Ndra kenalin, nih,” kata Andi.
“Hai Mbak. Aku Andra. Mas Andi semangat banget kalo nyeritain Mbak.” Andra terkekeh.
Andi memelototinya supaya Andra diam. Tapi terlambat karena Joaquin, Mocca, Haris dan Khaira sudah mendengar. Godaan langsung meluncur dari mulut para lelaki. Membuat Andi terdiam. Di tengah keseruan mengusili Andi, suara salam memecah perhatian.
Semua mata sontak tertuju ke arah lelaki berkemeja putih yang membawa pot bunga anggrek itu. Begitu juga Venita. Mendadak dia terpaku dengan detakan jantung terpacu lebih cepat.
Yohan sedang menatapnya dengan sorot mata rindu.Guys dapet salam dari Mas Yohan🤭🤭
Happy reading and happy weekend yaa
Thanks fo reading.With Love
MH
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Match
RomantizmWattpad Romance ID March Reading List Nggak sesuai kriteria! Kalimat yang sering diucapkan Yohan jika berurusan dengan masalah jodoh. Gara-gara kriteria yang dibuatnya Yohan malah terpuruk karena patah hati. Perempuan yang menurutnya memenuhi kriter...