Bab 2. Berseteru

446 55 4
                                    

Bismillah,

"Cia." Yohan berdiri di ambang pintu. Menatap lurus gadis berhijab warna butterscotch yang sedang asyik dengan ponselnya. "Bisa bicara?"

Lucia mengangkat wajahnya sebentar, lalu memasang ekspresi kesal. Dia mengangguk sedikit lalu kembali menekuri ponselnya. "Silakan duduk, Mas," katanya formal.

Yohan melangkah pelan. Menarik kursi lalu menghempaskan tubuhnya. Selama beberapa saat dia hanya memandangi kekasihnya. Gadis yang sudah mendiamkannya sejak pertengkaran mereka tiga hari yang lalu.

"Apa kabar?" tanya Yohan berbasa basi.

"Baik. Seperti yang kamu lihat."

"Aku minta maaf," gumam Yohan. Ada gelegak dalam dirinya, ditahan sekuat tenaga demi gadis yang dicintainya. Dia sudah berbicara dengan Mamanya kemarin. Meminta saran mengenai hubungannya dengan Lucia. Perempuan yang disayangi dan dihormatinya itu meminta Yohan mengalah dan mengajak Lucia berbaikan. Menambahkan kalau Yohan harus menekan ego dan lebih sabar dalam menghadapi gadis yang usianya lima tahun lebih muda darinya.

"Oke." Lucia kelihatan tidak peduli.

"Bisa kita bicara?" pinta Yohan lembut.

"Sekarang kita lagi bicara, Mas."

"Maksudku bicara tentang kita," tegas Yohan. Ketika melihat gadis itu mengangguk walau kelihatan tidak rela, Yohan langsung melanjutkan. "Mamaku mau datang. Aku ... mau ngenalin kamu ke keluarga."

Sesaat Yohan merasa melihat kening Lucia berkerut. Namun, detik berikutnya gadis itu mengangguk. Walaupun masih belum tersenyum.

"Boleh aku tanya sesuatu?" lanjut Yohan.

"Tanya aja."

"Malam waktu kita janjian makan, kamu telat. Kamu ke mana?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

"Itu lagi? Kenapa dibahas lagi, sih, Mas? Aku sudah bilang ada kerjaan. Kamu ngarep aku jawab apa?!"

"Cia, kita udah janji mau saling jujur. Kamu tahu semua tentang aku, aku juga sama. Apa, sih yang kamu sembunyikan?"

"Aku?! Kamu yakin aku yang main rahasia-rahasiaan? Bukannya kamu yang bohong?!"

Yohan merutuk dirinya dalam hati. Tadi keadaan sudah mulai kondusif, tapi dia tidak dapat menahan diri. Sempat menyesal, tapi Yohan merasa pertanyaannya wajar saja. Dia tidak menuduh, hanya bertanya.

"Aku bohong apa, Cia?" Yohan membalas setelah beberapa kali menghela napas. "Kalo memang ada yang mau kamu tanyakan, ya udah tinggal tanya. Kamu tahu hubungan kita tuh udah serius. Kamu juga yang ngajak serius-"

"Aku yang ngajak serius?! Bukannya kamu yang maksa-maksa ngajak nikah?! Kamu juga mulai ngelarang aku ini itu. Pernah nggak kamu pikirin karir aku? Kerjaan aku?"

Yohan menunduk. Menatap petak-petak lantai berwarna cokelat yang membosankan. Dia merasa menghadapi Lucia versi sekarang membuat frustrasi. "Oke. Aku yang ngajak kamu serius. Aku yang ngajak kamu nikah. Tapi aku nggak maksa, kalo kamu nggak siap ini masih bisa ditunda. Tapi aku mau-"

"Kamu mau tahu kenapa aku telat?! Ujung-ujungnya balik ke situ. Males tahu nggak. Sekarang coba kamu pikir, apa yang kamu sembunyikan selama ini?!" sembur Lucia.

Yohan terperangah. Dia menyembunyikan apa? Lelaki itu tidak mengerti arah pembicaraan Lucia. Mereka saling menatap dalam diam. Yohan dengan sorot mata bertanya, dan Lucia dengan sorot penuh amarah. Ruangan itu senyap. Tenggelam dalam pertikaian sunyi Yohan dan Lucia.

Dering ponsel Lucia yang mengakhiri kesunyian.

Mata Yohan dan Lucia otomatis tertuju pada benda yang terletak di meja itu. Tangan Lucia dengan cepat meraih benda canggih itu. Tetapi, tidak cukup cepat karena Yohan masih sempat membaca nama si penelepon.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang