Bab 9. Ditolak Prisa

286 59 21
                                    

Bismillah,

"Prisa, hati-hati sayang." Venita berteriak pada putrinya yang berlari cepat ke arah playground. Prisa menoleh, lalu mengacungkan jempol pada Mamanya.

Sementara Venita memilih tempat duduk di bawah pohon, tak jauh dari playground. Dari situ dia bisa mengawasi Prisa. Gadis berusia enam tahun itu terlihat riang. Bermain dengan ayunan, lalu bermain perosotan dan aneka permainan lain di playground.

Hari minggu ini memang tidak begitu cerah. Sejak pagi beberapa potong mendung sudah berarak. Sesekali menutupi matahari sehingga sinarnya terhalang. Tetapi Venita sudah berjanji akan mengajak Prisa jalan-jalan. Kebetulan hari ini dia bisa datang sore, sehingga punya waktu untuk putri kecilnya.

Sembari mengawasi Prisa yang sekarang menaiki kelinci mainan, ingatan Venita melayang pada peristiwa ketika dia menemani Yohan menghadiri resepsi Lucia. Tidak bisa disembunyikan kalau Mas Bossnya itu galau berat dan kecewa. Yohan memaksa datang, mungkin untuk menunjukkan kalau dia tidak terpengaruh dengan kelakukan Lucia dan Ade.

Dikhianati dua orang yang sangat dekat, bahkan pernah ditolong. Pasti sakit sekali. Sama sakitnya dengan hatinya ketika memergoki Iqbal dan Vanessa ternyata berselingkuh.

Venita menghelas napas teringat itu. Benaknya kembali menghadirkan raut Yohan saat resepsi. Dia yakin air mukanya dulu persis sama dengan Yohan. Pengkhianatan itu mengiris-iris dan menghancurkan hati dan hidupnya.

Venita menyentuh tangannya. Teringat ketika atasannya menggandengnya di café siang itu. Lalu tanpa bisa ditahan memorinya memutar ulang interaksi mereka di resepsi.

"Ven, gue ... mau ngajak lu jalan habis ini."

Terperangah, lalu cepat-cepat mengikuti Yohan yang sudah hampir sampai di pintu keluar. Lelaki itu melewati meja souvenir begitu saja. Menunduk, lalu memalingkan muka ketika seseorang memanggilnya. Pasti Yohan tersiksa berada di sini. Beberapa kali Venita menangkap pandangan beberapa rekannya yang menyorotkan iba.

"Pak, tunggu, Pak." Venita sudah mencapai pintu keluar. Dan, Yohan sudah beberapa langkah di depannya. "Pak Yohan, sebentar dulu."

Yohan berhenti, tapi tidak berbalik. Mereka sudah berada cukup jauh dari hingar bingar resepsi. Lelaki itu sepertinya sedang mengatur napas.

"Pak, kita mau ke mana?" tanya Venita yang sudah berdiri di samping Yohan.

Lelaki itu mengangkat bahu. "Lihat nanti."

Ternyata Mas Bossnya membawa Venita berkeliling. Dari gedung resepsi mereka menuju tengah kota. Lalu, mobil berbalik arah ke kota Batu. Selama perjalanan Yohan membisu. Venita membiarkan lelaki itu mengambil waktu. Dia sangat mengerti kalau Yohan butuh menenangkan diri.

Lelaki ini beruntung karena tidak sendiri. Dulu Venita menghadapi kehancuran hati dan hidupnya sendiri. Mama tentu saja tidak memperlihatkan dukungan. Wanita itu adalah ibu kandung Vanessa. Selama ini Mamanya lebih sering membanggakan Vanessa dan menutup mata dari kelakuan buruk kakak sambungnya itu.

Mobil Yohan memasuki hutan pinus di jalur lingkar barat. Barulah Venita tersadar dari lamunan. Nama sebuah kafe tertangkap matanya.

"Kita mau ... survey, Pak?"

Menggeleng sambil masih menginjak gas. Jalanan sedikit menanjak dan berbatu. Suara tonggeret meramaikan kesunyian yang diciptakan Yohan.

"Terus Pak Yohan mau ngapain?" kejar Venita. Dia melirik arlojinya dengan cemas. Hampir jam setengah dua, dia teringat Prisa.

"Gue mau ngajak lu ngopi."

Setelah itu Venita tidak lagi bertanya. Sampai mobil diparkir rapi dan Yohan memimpin berjalan. Dia mengunci mulutnya dengan bayangan Prisa menari-nari di matanya.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang