Bab 47. Masa Lalu Yang Mengancam

96 11 0
                                    

Bismillah,

 "Inget ya, Mas, ngomong sama Ayah kudu sabar." Yuanita menepuk pelan lengan adiknya.

Lelaki itu menoleh sebentar, lalu mengangkat cangkir kopi dan menyesapnya. "Iya, Mbak. Yang penting Ayah nggak mancing keributan duluan."

Kali ini tangan Yuanita menggeplak lengan adiknya sedikit keras. "Kamu tuh, sabar sedikit. Mengalah sama orangtua, gimana pun dia Ayah kamu, Mas." Mata Yuanita beralih pada Venita yang duduk di depannya. "Ven, kasih tahu nih calon suami kamu. Kalo aku yang bilangin kayanya nggak mempan," sungut Yuanita.

Mengangguk dengan senyum kecil terpatri di bibirnya yang berwarna peach, Venita berkata, Iya, Mbak. Sudah saya ingatkan terus." Mata Venita mengerling Mas Boss. Mengirimkan kelembutan yang seperti biasa selalu bisa menjinakkan Yohan.

Keriuhan suasana bandara pagi ini menemani obrolan tiga orang yang sedang duduk di kafe. Pesawat yang akan membawa Yohan ke Bali dijadwalkan jam 11. Masih ada waktu satu jam sebelum lelaki berkulit sedikit gelap itu check in. Entah kenapa dia gelisah dan tidak ingin cepat-cepat meninggalkan Venita.

"Nggak video call Prisa, Ven?" tanya Yohan mengalihkan topik. Terlepas dari pertemuan dengan Andi yang cukup mengoyak hatinya, acara membuat es krim bersama Prisa dua hari yang lalu cukup lancar. Gadis kecil itu bahkan sudah berteman dengan Harumi.

"Jam segini Prisa udah masuk kelas, Mas," beritahu Venita sambil melirik arlojinya. Di perjalanan menuju bandara tadi mereka sudah melakukan video call. Walaupun tanggapan Prisa masih datar pada Yohan, lelaki itu cukup senang karena Prisa mau menjawab pertanyaannya dengan satu atau dua kata.

Mendengar itu Yohan mengangguk, lalu berpindah duduk di samping kekasihnya. "Mbak gue mau kangen-kangenan dulu sama calon istri. Mbak nggak boleh ngiri."

Ucapan Yohan disambut cibiran Yuanita. Menyaksikan betapa Yohan sedang bucin, Yuanita hanya bisa tersenyum geli. Dalam hati bersyukur, adiknya yang kadang childish dan tidak sabaran menemukan pasangan yang sabar dan telaten seperti Venita.

Segera setelah menghenyakkan tubuhnya tepat di samping Venita, Yohan merangkum jemari perempuan itu. "Lu nggak usah terlalu mikirin Semilir Angin. Gue janji akan berusaha keras untuk Semilir Angin, Ven. Gue emang nggak tahu caranya, tapi ... pasti ada jalan," katanya seraya mengecup jari-jari Venita.

Perempuan berhijab warna olive itu mengangguk dan menampakkan senyum lembutnya yang khas. "Saya juga akan berusaha supaya Semilir Angin tetap ada, Mas."

Deheman Yuanita menjeda adegan mesra Yohan dan Venita. Kakaknya tersenyum penuh arti lalu berkata, "Mas, sudah waktunya check-in. Dan ... jaga diri ya kalian berdua. Khususnya kamu, Mas. Sabar sampe sudah halal nanti. Tahan dulu nafsunya."

Menarik napas pelan lalu menghembuskan, Yohan bangkit dan menggendong backpack-nya. Tangannya masih belum melepas tangan Venita. Sesaat sebelum memasuki area check-in barulah pegangan itu dilepas dengan berat.

Tidak seperti biasa, Yohan tidak banyak bicara. Hanya terus menatap Venita sampai dia menjauh dan matanya tidak dapat menjangkau perempuan yang dicintainya itu.

Selama melangkahkan kaki menuju gate yang tertera di boarding pass, jantungnya berdetak gelisah. Pertemuan dengan Ayah biasanya tidak mudah. Tetapi kali ini Yohan tidak berhenti berdoa. Berharap lelaki keras kepala itu akan memberi persetujuan padanya untuk menikahi Venita.

@@@

Begitu sampai di Semilir Angin, Venita langsung berkutat dengan laptopnya. Rozi juga sudah menunggunya. Dan sebuah tautan zoom meeting dikliknya dengan sekali sentuh. Venita sudah tidak sabar untuk segera memulai pertemuan dengan Joaquin dan Rio. Rio adalah rekan Jo dan Yohan, sekaligus konsultan marketing.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang