Bab 11. Single and Single

262 47 7
                                    

Bismillah,

 "Nggak sesuai kriteria!" Yohan meletakkan berkas yang baru dibacanya dengan gemas. Dia baru saja selesai mewawancara calon pastry chef. Kandidat kedua yang diemail Venita. Tapi, menurutnya kandidat itu tidak pas.

Venita yang baru saja memasuki meeting room terdiam. Setengah menunduk sambil memainkan jari tangannya. Berpikir bagaimana cara menenangkan Yohan yang kelihatan galau. Mas Boss memang belakangan sering galau, dan bisa ditebak sebabnya.

Lucia dan Ade seperti hantu saja, muncul di mana-mana. Kabar tentang kesuksesan gerai donat Ade terus saja sampai ke telinga Yohan. Mantan sahabat yang menjadi rival itu melaju terus tanpa bisa dihentikan. Donat yang dulu resepnya diuji coba di dapur milik Take Mie with You sekarang kesuksesannya sudah menyamai pendahulunya.

"Pak, kita ... masih ... punya kandidat ketiga," beritahu Venita dengan ragu.

"Ck, gue pesimis. Yang dua ini tadi kualifikasinya sesuai sama yang kita minta. Tapi soft skill-nya itu loh. Gue nggak yakin yang dua tadi bakal loyal. Yang kedua malah udah keliatan banget nggak bisa kerja sama dengan tim. Padahal kafe ini jalan dengan team building yang bagus."

Venita yang sudah duduk di hadapan Yohan, memutar tubuhnya. Resah.

Ucapan panjang lebar Yohan memang tidak salah. Tadi dia sempat menemani ketika Yohan mewawancara dua kandidat pastry chef. Mereka sebenarnya tidak perlu yang berpengalaman banget. Yang diprioritaskan adalah loyalitas dan kemampuan bekerja sama.

"Kita coba dengan kandidat ketiga ... gimana ... Pak?" Dia ikut tertekan melihat ekspresi sedingin es yang ditampilkan Mas Boss. Sehingga penyakit gugupnya kambuh.

"Lu aja deh yang wawancara. Gue dengerin aja. Lu highlight pertanyaan-pertanyaan pentingnya. Yang lu panggil ke sini kan emang sudah mahir dalam hal masak memasak. Gue mau mastiin yang ketrima nggak cuma mahir di bidangnya aja. Lu ngerti, kan, Ven?"

"Eng, ngerti, Pak."

"Ck, lu jangan mendadak gugup gitu dong. Yang tegas ngomongnya. Lu itu manajer," sembur Yohan. Semakin kesal karena Venita mendadak terlihat tidak percaya diri. Padahal beberapa malam yang lalu dia sudah terkesan dengan perempuan itu. Mengingatkannya pada Mamanya yang lembut dan tegas.

"Iya, Pak." Venita menunduk. Mengatur napas supaya gugup tidak lagi menyerang. Setelahnya dia berdiri dan pamit ke toilet.

Seraya memandang pantulan dirinya di cermin, Venita meniupkan napas. Meletakkan satu tangan di dadanya.

"Tenang dong, Ven. Oke atur napas. Jangan sampe Pak Yohan bikin gugup lagi." Venita menopangkan dua tangan di permukaan meja wastafel. Setelah beberapa saat debaran jantungnya mulai teratur, kegugupannya juga reda. Berdekatan dengan Yohan dalam mode frustrasi berimbas kurang baik pada Venita.

Berikutnya dia meraih pouch kosmetik. Mengeluarkan lipstik dan compact powder untuk touch up. Selesai. Venita memandangi wajahnya di cermin. Tersipu, teringat ketika Yohan menyentuh punggung tangannya dan bilang kalau lelaki itu sayang padanya.

Nyaris saja jantungnya meledak karena bahagia. Yohan memiliki perasaan yang sama dengannya? Itu mimpi jadi kenyataan. Waktu itu Venita sempat berbisik dalam hati, kalau ini mimpi dia belum ingin bangun.

Namun sejalan dengan waktu Venita disadarkan dengan kenyataan. Yohan dan dirinya terpaut perbedaan. Yohan pengusaha sukses, single, ganteng pula. Sementara dia hanya seorang singlemom dengan gaji cukup untuk hidup.

Single versus singlemom. Itu cukup mengganggu!

@@@

"Silakan, Mas. Cheese croissant, fresh from the oven." Senyum Kania merekah penuh. Berdiri di samping Yohan sembari menjalin dua tangannya, mata perempuan itu tertuju pada si boss muda.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang