Bab 5. Ditikung Teman Sendiri

339 53 3
                                    

Bismillah,

Yohan memasuki ruang kerja di lantai dua, lalu membanting pintu. Ingin rasanya mengobrak abrik ruangan dan membanting semua benda. Sekuat tenaga dia menahan diri dan hanya meremas rambutnya.

Ponselnya bergetar. Sambil menggeram kesal Yohan terpaksa mengambil benda itu dari kantongnya. Ada satu notifikasi pesan dari Joaquin. Gara-gara itu dia melihat foto dirinya dengan Lucia yang dijadikan wallpaper ponsel.

Detik berikutnya ponsel itu dibanting keras.

Hari ini menguras emosi dan energinya sampai ke batas akhir. Melihat Ade menemui Lucia dengan sikap sangat mesra sudah mencabik-cabik hati Yohan. Dia sempat terpaku melihat pemandangan yang tidak disangkanya itu. Sempat ingin mendatangi dan menghajar Ade, tapi enggan membuat keributan. Alih-alih Yohan malah menguntit Ade dan Lucia.

Lelaki ganteng itu adalah rekannya sesama pengusaha. Ade nyaris bangkrut karena restonya yang menjual mie gulung tikar. Untunglah Yohan dan Joaquin bersedia membeli resto kecil itu dan merombaknya menjadi food court. Tidak hanya itu, dia dan Joaquin membimbing Ade bereksperimen resep donat yang sekarang sudah mulai merangkak naik penjualannya.

Teringat itu darah Yohan menggelegak. Tidak repot-repot menahan emosinya, Yohan mengambil apa pun yang ada di meja kerja dan melemparnya. Vas bunga, ordner, kertas-kertas, tempat bolpoin dan pensil sudah berserakan di lantai.

Kepalanya masih memutar adegan Lucia dan Ade yang bergandengan keluar dari mal. Yohan mengikuti mereka dengan darah mendidih. Keduanya menuju sebuah resto yang cukup jauh dari kota. Tidak sadar seseorang menguntit, keduanya semakin bebas bersikap mesra.

Bodohnya Yohan memberanikan diri mengamati itu. Terus sampai Ade mengantar Lucia pulang ke rumahnya. Saat itu sudah jam sembilan lewat. Barulah Yohan memutuskan kalau kegiatan tololnya sudah selesai.

Seperti biasa di saat galau Yohan menghindari langsung pulang ke rumah. Jadi, dengan letih dia menyetir ke kafe. Memprediksi kalau tempat itu sudah akan tutup dan sepi. Sangat kondusif untuk melampiaskan kemarahan atau sekadar menghindar dari tatapan bertanya orang lain.

Setengah berlari, Venita yang tadinya turun ke lantai satu melangkah cepat di anak tangga. Dia baru saja akan kembali ke lantai dua ketika mendengar suara berisik. Tangannya dengan cepat menekan pegangan pintu begitu tiba di lantai dua. Venita terperangah. Dia sempat menyapukan matanya ke sekeliling ruangan yang berantakan. Lalu pandangannya jatuh pada Yohan yang berjongkok sambil bersandar di dinding dan meremas rambutnya.

Nyaris berjingkat, Venita mendekati lelaki itu. Meraih tangannya, lalu menggenggamnya lembut. "Pak, duduk di sofa aja ya," katanya tenang.

Yohan mengangkat kepalanya. Menatap kosong lalu mengangguk. Langkahnya lunglai ketika beranjak ke kursi dan menghempaskan tubuh sambil menghembuskan napas kasar.

"Saya ... buatkan kopi?" tanya Venita.

Yohan mengangguk. Satu tangannya memijit kening. Bayangan-bayangan menyakitkan berputar di kepalanya yang serasa hampir pecah.

"Oke, tunggu sebentar ya, Pak." Venita segera pergi. Tidak menunggu jawaban Yohan.

Dia kembali beberapa saat kemudian dengan secangkir kopi yang mengepulkan asap. Mendekati Yohan perlahan, Venita lalu mengulurkan cangkir. "Pak Yohan perlu apa lagi?"

Yohan menatap perempuan itu sebentar lalu menggeleng. "Gue mau sendiri dulu."

"Oke." Venita bergegas bangkit dan berjalan menuju pintu.

"Ven."

Venita batal melangkah. Dia berbalik dan menghadap Yohan yang masih menunduk dengan dua tangan mendekap cangkir kopi. "Iya, Pak?"

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang