Bab 1. Kopi dengan Bekas Bibirnya

649 77 9
                                    

Bismillah,

Cangkir americano di depan lelaki berkulit putih itu sudah tandas. Menyisakan ampas dingin, menandakan isi cangkirnya sudah cukup lama habis. Yohan menarik lengan kemejanya, mengecek arloji. Sudah jam 20.01. Dia berdecak kesal bercampur gelisah. Dirabanya kantong celana yang menggembung. Kotak beludru berwarna pink itu masih di situ.

Kali ini Yohan meraih ponsel, lalu membuka aplikasi pesan. Dengan cepat jarinya menekan ikon telepon. Menunggu dengan tidak sabar seraya mengetuk-ngetukkan jemari ke meja. Nada sambung terdengar, tapi orang yang diteleponnya sama sekali tidak menjawab.

Lucia sudah terlambat setengah jam lebih dari janji makan malam mereka. Padahal ini malam yang cukup penting bagi hubungan mereka. Milestone menuju ke tahap selanjutnya. Hal yang beberapa kali diminta gadis itu pada Yohan.

"Aku nggak mau hubungan kita stagnan, Mas. Ya ... harus ada kemajuan." Lucia mengatakan itu sambil menggulir ponsel.

"Kamu pikir aku nggak serius?" tanya Yohan. Terlihat santai tapi sedang memikirkan ucapan gadis yang sudah dipacarinya satu tahun lebih.

"Perempuan di mana-mana butuh bukti, Mas. Aku nggak bisa ambil kesimpulan kamu serius atau nggak kalo nggak lewat tindakan," tegas gadis berhijab lavender itu.

Saat Lucia mengatakan itu, Yohan merasakan semangatnya meluap. Dia memang sudah berencana melamar kekasihnya. Menurutnya Lucia sudah memenuhi semua kriteria yang dipatoknya untuk menjadi istri. Jadi, tunggu apa lagi? Sebelum umurnya berkurang lagi tahun depan, dia akan melamar lalu menyiapkan pernikahan.

"Oke." Jawaban pendek Yohan sebenarnya tidak mewakili perasaannya. Tetapi, dia juga tidak mau berpanjang kata. Lucia perlu bukti, bukan janji.

"Silakan, Kak americanonya." Waiter meletakkan secangkir kopi baru yang mengepulkan asap. Membangunkan Yohan dari lamunan.

Dia menggumamkan terima kasih, lalu melirik arloji. Jarum jam sudah bergerak ke angka 20.15.

Kemana sih, dia?! Ditelepon nggak jawab. WA juga nggak dibaca.

Mendengkus kesal tetapi menguatkan hati untuk bertahan. Sialnya pikiran Yohan malah berkelana ke sebulan belakangan. Lucia sering membatalkan janji temu mereka. Gadis itu juga terlihat lebih sibuk dengan ponselnya. Ketika Yohan bertanya, hal itu malah menyulut perdebatan.

Yohan mengingat-ingat saat Lucia bertingkah aneh. Gadis itu pamit ke toilet ketika mereka hadir di soft opening kafe rekan bisnis Yohan. Yohan menunggu sampai setengah jam sebelum akhirnya Lucia kembali dengan ekspresi ganjil. Lalu ada satu hari ketika gadisnya itu menghilang seharian tanpa kabar. Mereka biasa saling chat sekadar memberi tahu apa kegiatan hari ini. Karena itu menghilangnya Lucia adalah hal yang tidak biasa.

Belum lagi kepergian mendadak Lucia ke Bali. Gadis itu memberitahu Yohan sesaat sebelum dia memasuki pesawat. Yohan nyaris meledak tetapi Lucia dengan cerdiknya segera mengakhiri pembicaraan. Beralasan kalau dia sudah berada di kabin dan harus memasang flight mode.

Peristiwa lain muncul di memori Yohan. Ketika dia menegur Lucia supaya tidak terlalu akrab dengan fotografer yang memotretnya. Sialnya, mereka malah bertengkar hebat dan gadis itu mendiamkan Yohan selama seminggu.

Setelah itu hubungan mereka kembali manis. Bahkan Lucia bercerita tentang sepupunya yang akan segera menikah. Seolah memberi sinyal pada Yohan. Lelaki itu pun memantapkan diri, bahkan berbicara dengan Mamanya. Sampai akhirnya dia yakin untuk melamar.

Namun kelihatannya acara itu juga akan berantakan, karena Lucia belum muncul juga sampai jam hampir mencapai angka sembilan.

"Mas, sorry aku telat." Lucia tahu-tahu sudah menarik kursi dan duduk dengan anggun. Sama sekali tidak tampak raut bersalah.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang