Bab 22. Perang Hati

197 38 7
                                    

Bismillah,

Menjelang akhir tahun langit mulai sering diselimuti mendung. Seperti siang itu. Matahari yang baru saja bersinar hangat, perlahan sudah hilang ditelan awan kelabu. Sama kelabunya dengan mood Yohan beberapa hari ini.

Lelaki berkemeja flanel dengan kancing dibiarkan terbuka itu sedang berjalan memasuki kafenya. Sekilas matanya memindai area lantai satu. Jam makan siang saat weekdays lumayan menggembirakan. Ada lima meja yang terisi. Video promosi yang dirancang Venita dan tim sosial media Take Mie cukup ampuh.

Teringat Venita membuat hati Yohan seperti diiris. Tawa lembut perempuan itu ketika bersama Andi tidak mau pergi dari kepalanya. Akibatnya sudah hampir seminggu ini dia sulit tersenyum. Yohan berjalan ke arah counter barista, bermaksud meminta kopi dari Bagas.

Langkahnya langsung membeku. Venita sedang berbicara dengan Bagas. Wajah perempuan itu terlihat bahagia. Bahkan sekarang senyumnya terbit. Entah jokes apa yang dilontarkan barista berambut gondrong itu sehingga sang manajer tersenyum manis.

"Gas."

"Iya, boss. Kopi? Kaya punya Mbak Manajer?" jawab Bagas yang langsung mengalihkan perhatian dari Venita. Si barista itu gugup karena Mas Boss memelototinya.

"Yang beda dari punya ... dia." Mata Yohan mengarah pada Venita yang tertegun. "Anterin ke lantai dua. Gue di balkon. Kalo lu sibuk, suruh Kania yang bawa." Yohan melirik Venita, lalu berjalan menuju tangga ke lantai dua. Sama sekali tidak menyapa manajernya.

Sejak memergoki sang manajer bersama Andi, Yohan jadi bete berat. Apalagi malam itu dia sempat mengamati beberapa saat. Andi yang selalu berhasil memancing senyum perempuan pujaannya, dan Venita yang menanggapi Andi dengan perhatian. Ditambah lagi sahabatnya itu kelihatan akrab dengan putri bungsu Venita.

Yohan kalah telak. Semangatnya untuk mendekati sang manajer langsung layu. Selama seminggu ini dia tidak berusaha berdamai dengan Venita. Walaupun dia punya setumpuk curhatan untuk dibagi dengan perempuan itu.

Kepalanya semakin penuh sesak. Apalagi tekanan Tommy untuk segera membayar sisa hutang Kania bertambah gencar. Yohan kebingungan. Beberapa hari yang lalu dia memberikan lima juta lagi pada Tommy karena lelaki berperawakan besar itu menunggu Kania pulang dan membuat gadis itu ketakutan.

Sampai di lantai dua, Yohan sedikit lega. Dia melihat beberapa meja terisi. Teringat video yang dibuat Venita dan tim. Isinya tentang promosi Semilir Angin dengan tema tempat romantis untuk pasangan. Evelina dan Ezra setuju menjadi talent-nya. Beberapa kali Yohan menonton video itu di chanel You Tube Semilir Angin. Dia suka dengan ide Venita dan bagaimana perempuan itu bekerja.

"Yo, apa kabar, bro?"

Yohan langsung tegang begitu melihat Andi bangkit dari salah satu meja dan menghampirinya. Dengan cepat Yohan menormalkan ekspresi wajah yang tadinya masam.

"Baik. Lagi ada acara apa, lu?" jawab Yohan sambil menerima jabat tangan Andi.

"Biasa lah ketemu klien baru. Mereka mintanya di tempat yang adem, ya aku ajak ke sini aja."

"Lu mau ketemu klien apa mepetin Venita?" bisik Yohan. Di dalam sana darahnya menggelegak. Rupanya Andi mencoba segala cara. Yohan kenal betul dengan karakter salah satu sahabatnya ini.

"Ya itu namanya menyelam sambil minum flat white, Yo." Andi tergelak sambil menepuk bahu Yohan. "Kamu sendiri gimana? Jangan gamon lah. Apalagi mantan kamu udah mau punya dedek bayi," goda Andi.

Yohan tersenyum kaku. Dalam situasi biasa dia akan meladenin candaan Andi. Genk mereka memang suka sekali saling meledek, tapi solid ketika salah satu memerlukan bantuan. Seperti kasus Joaquin dulu. Sialnya, sekarang dia memandang Andi sebagai saingan.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang