Bab 50. Kelamnya Masa Lalu

85 12 0
                                    

Bismillah,

Yohan menarik tangan Venita dan melingkarkannya di pinggang. Setelah ketegangan tadi pagi, akhirnya lelaki itu bisa tersenyum. Merasakan Venita berada di dekatnya, dan menularkan ketenangannya yang khas. Perlahan kecamuk perasaan Yohan terurai.

Ketika mereka bertemu tadi, Venita tidak banyak bicara. Walau sekilas Yohan bisa melihat keresahan di mata kekasihnya. Perempuan itu hanya melemparkan senyum tenang. Menyambutnya dengan kalimat yang menenangkan.

Tentu saja Yohan tidak bercerita tentang pertengkaran dengan Ayahnya. Dia tidak mau merusak momen kebersamaan dengan Venita.

Setelah menyuruh Bagas pulang duluan tadi, Yohan akhirnya mengantar Venita pulang. Mengendarai motor matic berwarna pink yang terlalu kecil untuk tubuhnya seraya membonceng sang manajer.

"Kita makan dulu ya," kata Yohan sambil membelokkan motor ke kawasan Pulosari. Tempat penjual beragam makanan menjajakan dagangan. Dia merasakan Venita mengangguk. Lalu tanpa ragu memarkir motor di depan sebuah warung yang menuliskan menu besar-besar di bagian depan.

Yohan mengajak Venita duduk di bagian luar warung. Tepat di samping penjual STMJ yang sedang sibuk melayani pembeli. Malam memang sudah larut, tapi tempat itu masih ramai. "Lu mau makan nasi goreng apa nasi mawut?"

"Nasi mawut aja. Tapi porsi kecil aja, Mas," jawabnya sambil merapatkan jaket.

"Oke. Mau STMJ juga nggak?" tawar Yohan lagi sambil bersiap menoleh pada si penjual.

"Saya ... minta punya Mas Yohan aja, boleh?"

"Boleh. Tapi ada syaratnya," ucap Yohan dengan tampang serius.

Venita tidak balik bertanya. Hanya menunjukkan air muka bertanya.

"Gue minumnya di bekas bibir elu. Elu juga gitu. Setuju?" Yohan mengulurkan tangan.

Sambil menggeleng-geleng dan menahan senyum, Venita menyambut uluran tangan lelaki bercambang tipis itu. Teringat Yohan pernah tidak sengaja meminum kopinya. Mendaratkan bibir tepat di bekas bibirnya yang ditandai dengan warna peach.

"Lu senyum-senyum pasti inget pas gue nyium bekas bibir elu di cangkir kopi ya?" tembak Yohan langsung. Bibirnya pun mengembang, menahan senyum.

"Apaan, sih?!" elak Venita sambil membuang muka. Sejenak dia melupakan persoalan tentang Tessa. Melihat Yohan tiba-tiba muncul dan menghabiskan malam bersama lelaki itu membuat ketenangannya kembali.

Yohan jauh berbeda dengan Iqbal. Mas Boss-nya memang kadang kekanakan dan sembrono, tetapi tidak pandai menyembunyikan perasaan. Seperti saat ini, terlihat jelas betapa Yohan senang melihat manajernya. Venita pun senang, tapi dengan rapi membungkus perasaannya.

Tak lama pesanan mereka diantar. Dua piring nasi mawut dengan wangi bawang putih dan asap yang mengepul menggoda keduanya. Berikutnya segelas besar STMJ dengan aroma susu yang khas juga diletakkan di samping Yohan. Mereka makan sambil mengobrol ringan. Sesekali suara tawa meningkahi obrolan.

Kecurigaan Yohan tentang sikap misterius Venita sudah terjawab. Yuanita mengabarinya tentang Tessa. Lelaki itu salut karena Venita tidak langsung mencecarnya tentang Tessa begitu dia sampai tadi. Dalam hati dia merutuk diri habis-habisan, kenapa sangat terlambat menyadari pesona sang manajer. Sampai-sampai dia harus baku hantam dulu dengan Andi karena ketololannya.

Selama ini Yohan sibuk mengais kerikil, sampai melewatkan berlian di depan mata.

Yohan menggeser gelas STMJ ke dekat Venita lalu berkata, "Cobain, nih. Biar besok ada tenaga buat kerja lagi."

Menerima gelas itu dengan patuh, Venita lalu mencicipi sedikit.

"Bentar, lu minumnya bukan dari situ. Harus pas di bekas bibir gue," titah Yohan dengan air muka bersungguh-sungguh. Tangannya meraih gelas, memutarnya sehingga bekas bibirnya mengarah ke bibir Venita.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang