Bab 37. Debaran Itu Semakin Menggila!

150 28 2
                                    

Bismillah,

Memasuki lantai satu kafe dengan tergesa, Venita cepat-cepat menuju tangga. Hari ini seharusnya dia datang jam sembilan. Ada janji dengan Teguh untuk membicarakan menu. Venita mendapat ide untuk menyeleksi menu dengan harapan dapat memangkas biaya operasional. Sayangnya, dia terlambat datang.

Sudah jam sepuluh lebih dan Teguh pasti sudah sibuk di kitchen. Tidak seperti kemarin area lantai satu sudah menerima beberapa pengunjung. Melegakan, tetapi membuat Venita merasa bersalah. Teguh pasti datang lebih awal dan menunggu.

Berlari kecil lalu melangkah cepat menapaki tangga, pikiran Venita masih dikuasai momen semalam. Malu dan senang bercampur menjadi satu. Dia tidak bisa langsung tidur semalam. Kilasan-kilasan kedekatannya dengan Mas Boss tidak bisa berhenti diputar.

Ya ampun apaan sih, aku. Kaya anak ABG aja.

Venita memegang dua pipinya sambil menggeleng. Berharap Yohan tidak sedang berada di ruang kerja lantai dua. Kalau lelaki itu di sana, dia tidak bisa konsentrasi bekerja.

Begitu sampai di depan pintu, Venita mengatur napasnya. Tidak langsung membuka pintu seperti biasa. Dia harus bisa mengendalikan responnya kalau-kalau Yohan sudah menunggu di dalam.

Please, Ven jangan bertindak konyol. Dia boss dan kamu cuma karyawan. Sadar, Ven, sadar. Bisa aja semalam cuma terbawa suasana.

Venita menghembuskan napas kecil. Menyentuh dada untuk menenangkan debaran di dalam sana. Setelah yakin dia cukup tenang, tangannya menekan handel. Membuka pintu dan melongok melalui celah.

Matanya langsung tertuju ke sofa, tempat favorit Yohan. Bibir Venita melengkung, Yohan belum datang. Sebenarnya ada sedikit kecewa karena tidak bisa bertemu Mas Boss setelah peristiwa tadi malam. Di sisi lain Venita lega karena punya waktu untuk merenungkan lagi kedekatan mereka.

Seraya melangkah ke meja kerja, Venita merasakan sesak karena bahagia. Teringat sensasi ketika jemarinya digenggam, menyentuh wajah dan ... hembusan hangat napas Yohan ketika lelaki itu meletakkan jemari Venita di bibirnya.

Venita tidak berani bergerak. Khawatir kalau dia melakukan itu semua akan berakhir. Dia tidak mau kebersamaannya dengan Yohan selesai begitu saja.  Untuk sesaat Venita melupakan kekhawatiran yang selama ini membelenggu untuk menunjukkan perasaannya pada Mas Boss.

Juga melupakan kalau dia sudah bersama Andi.

Perlahan dia duduk, lalu menyalakan laptop. Senyumnya masih betah tersungging. Sementara ingatannya melayang pada momen spesial bersama Yohan. Memejamkan mata dan bersandar, Venita masih merasakan sentuhan Yohan di tangannya. Kecupan dan hangatnya bibir lelaki itu juga masih menempel di jarinya.

Tidak bisa dihindari, dia memutar lagi kebersamaannya dengan Yohan.

Flashback

Yohan menatapnya dalam. Sementara Venita sudah lupa kalau dia biasanya gugup di dekat Mas Boss. Kali ini dengan lembut dia membalas tatapan lelaki bercambang itu. Sementara tangannya masih dalam genggaman hangat Yohan.

Keduanya tidak ingin mengakhiri sentuhan.

"Ehm, lu kedinginan ya?"

Barulah Venita menarik perlahan tangannya. Menunduk dan mengatur debaran jantungnya.

"Kita ... duduk di situ." Dagu Yohan mengarah ke meja kayu berbentuk kotak dengan empat bangku terbuat dari kayu pinus. Itu tempat staff kitchen beristirahat dan berdiskusi.

Venita hanya bisa mengangguk. Belum sanggup mengatakan apa pun. Sebab dia lebih sibuk menenangkan dirinya. Merasa konyol karena dia berjalan lebih dulu dan tidak membantu Yohan membawa mug berisi teh sereh lemon.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang