Bab 33. Semangat Pebinor!

184 33 0
                                    

Bismillah,

Baru saja memarkirkan motornya, Yohan langsung disambut pemandangan yang merusak mood. Wajah kusutnya bertambah kusut. Venita baru saja turun dari mobil. Diantar Andi seperti biasa.

Enak banget jadi Andi dapet senyuman tiap saat. Gue yang semaleman berdiri di bawah kamarnya sama sekali nggak disenyumin. Kasian amat lu, Yo!

Termangu di atas motor sport seraya mencengkram helm, Yohan lagi-lagi merasakan remasan di dada. Sudah dua minggu berlalu sejak dia mendengar Venita menerima cinta Andi. Dan hampir selama itu juga disuguhi kemesraan yang membuatnya merasa tolol sekaligus sakit hati.

"Yo, aku cabut ya." Andi melambai sekilas.

Yohan hanya mengangkat satu tangannya, mulutnya terasa gagu hanya untuk sekadar menjawab 'ya'. Dengan lunglai Yohan bangkit dari jok. Menenteng helm yang akan disimpan di kantor.

Berjalan dengan pikiran dipenuhi bayangan senyum Venita pada Andi, Yohan memasuki lantai satu kafe. Sama sekali tidak memperhatikan sekeliling. Tidak menyadari kalau Venita yang baru saja memasuki area lantai satu berjalan di belakangnya.

Yohan hendak melangkah menaiki anak tangga, tapi mendadak berhenti dan berbalik. Tepat saat Venita yang juga siap naik ke lantai dua berada di situ. Keduanya nyaris bertabrakan.

"Ma-maaf, Pak." Venita langsung mengambil jarak. Bergerak gelisah seraya mencengkram tali tote bagnya.

"Nggak papa, gue yang salah," balas Yohan setelah berhasil menormalkan detak jantungnya. Parfum Venita yang beraroma grapefruit dan raspberry membuatnya semakin tak karuan. "Gimana kabar, lu?"

Venita masih memandang lantai. Dia pun merasakan jantungnya berlarian karena posisinya yang cukup dekat dengan Yohan. "Baik, Pak." Dalam hati Venita membatin, selama dua minggu ini mereka beberapa kali bertemu dalam situasi yang sangat awkward. Pernah mencoba membahas progress kafe, tetapi pembicaraan malah macet. Sehingga Venita akhirnya memilih menyusun laporan tertulis. Walaupun sebenarnya banyak hal yang ingin disampaikannya pada Mas Boss.

Keduanya diam. Yohan menelisik Venita sembunyi-sembunyi. Sementara perempuan berhijab abu-abu di depannya semakin salah tingkah.

"Pak Yohan ... baik? Maksud saya ... Pak Yohan apa kabar?" Terpaksa Venita mengangkat wajah. Merasa tidak sopan bicara tanpa kontak mata.

Gimana gue bisa baik kalo setiap hari lu tambah lengket sama Andi. Gue sakit, Ven. Lu nggak lihat muka gue kusutnya kaya gimana?! Lu nggak ngerasa gue tiap malam berdiri di bawah jendela kamar elu. Nggak tahu mau apa. Gue kaya orang sinting!

Yohan mengusap kasar wajahnya. "Gue ... nggak terlalu baik."

Alis alami Venita bertaut. "Pak Yohan sakit? Perlu saya belikan vitamin? Atau obat?"

"Ck, bukan sakit. Gue ... lagi nggak mood." Sebenarnya ingin sekali Yohan mengatakan kalau dia sedang patah hati.

"Ehem ... ehem ...." Bagas nyengir dari counter. Memerhatikan Mas Boss dan Mbak Manajernya yang kelihatan sama-sama salah tingkah. "Ada yang mau kopi nggak? Kopi tubruk? Americano? Piccolo? Macchiato? Apa cappuccino?" Dia mengikik tapi langsung berhenti karena Yohan memelototinya.

Sedangkan Venita tersenyum lembut, lalu berjalan ke arah Bagas. Seperti menemukan jalan keluar dari situasi canggung yang memerangkapnya bersama Yohan. "Tumben nawarin? Aku mau piccolo ya. Ntar habis nyalain laptop aku turun, ambil piccolo."

"Siap dong, Mbak," jawab Bagas sambil tersenyum lebar. "Mas Boss mau piccolo juga? Enak loh diminum sambil ngobrol sama Mbak Veni." Bagas mengedipkan satu mata sambil menahan tawa.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang