Bismillah,
Sudah jam satu dini hari, tapi mata Yohan masih terbuka lebar. Dua tangannya terjalin di belakang kepala. Sedangkan tatapannya lurus tertuju ke arah langit-langit. Sejak jam 23.00 tadi dia hanya bergulingan di atas ranjang. Dengan wajah Venita mengikuti ke mana pun dia melihat.
Seharusnya malam ini Yohan senang karena sampai di jam last order pengunjung mengalir terus ke Semilir Angin. Apalagi Bloom ternyata live di instagram mereka dan Venita mengunggah reels serta foto-foto ketika grup musik itu perform. Ini momen yang mestinya dirayakan.
Celakanya kejadian dengan Kania sebagai tokoh pengganggu dan kepergian Venita malah membuat Yohan muram. Setelah berhasil menenangkan Kania, Yohan menyusul manajernya. Perempuan itu sedang membuat konten bersama Rozi.
"Ven, udah selesai bikin konten?" tanya Yohan begitu sampai di ruangan.
"Belum, Pak."
"Masih lama? Gue mau bicara," kata Yohan dengan tampang resah. Dua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana.
"Nggak lama lagi, sih, Pak. Tapi selesai dengan konten saya mau ngecek persediaan bahan mentah sama Rozi," balas Venita masih dengan mata tertuju pada laptop.
"Ck, itu kan bisa besok. Atau elu aja yang ngerjain, Roz." Yohan kelihatan tidak sabaran. Dia mengerti Venita menghindar.
Lu marah sama gue, Ven?! Jangan-jangan kita punya perasaan yang sama. Sialan, perasaan apa?! Gue nggak bisa mastiin. Bisa-bisa ribut lagi sama bokap. Ck, bener-bener apes.
Geram Yohan dalam hati. Matanya mengarah pada Venita yang kelihatan kalem. Perempuan itu sesekali berbicara pada Rozi. Pegawainya itu beberapa kali melirik si boss dengan takut-takut. Ikut menangkap gelagat kalau Yohan ada perasaan lebih pada manajernya.
"Roz, habis ini lu ngecek persediaan. Kalo ada yang habis lu tinggal lapor sama Venita besok. Ngerti?"
"Siap, Pak," kata Rozi. Lalu berbalik pada Venita. "Mbak, habis ini istirahat aja. Biar aku yang ngecek list barang-barang yang habis."
Menghembuskan napas kesal, Venita mengangguk berat. Diliriknya Yohan yang sekarang bersedekap sambil bersandar di meja Rozi. Jantungnya melonjak karena mata Yohan tertuju padanya.
"Sudah selesai, kan? Gue mau bicara. Di balkon. Sekarang," perintah Yohan. Tanpa menunggu Venita dia berjalan duluan ke arah balkon. Khawatir perempuan itu akan menolak lagi kalau dia tetap berdiri di dekat meja Venita.
Sampai di balkon Yohan tidak menyulut rokok seperti biasanya. Dia hanya melamun. Menatap ke kerlip lampu pemukiman di kejauhan. Malam itu angin terasa sejuk dan langit cerah. Dia mendongak. Menemukan rasi bintang Orion terlihat dengan enam bintang utama yang cahayanya terang.
Senyum tipisnya terbit. Setitik bahagia terbit di hatinya. Membayangkan Venita akan muncul sebentar lagi dan mendengarkan curhatan recehnya. Di mata orang lain Yohan memang terlihat konyol karena bertingkah bak pahlawan kesiangan untuk Kania. Tapi mereka tidak mengerti bagaimana menyakitkannya ingatan ketika dia melihat Yuanita dipukuli.
Kakaknya yang menutupkan dua tangan untuk melindungi diri sendiri dari tendangan Arman. Dan keponakannya yang saat itu berumur empat tahun menjerit-jerit ketakutan. Ketika dia memergoki peristiwa itu, satu mata Yuanita lebam dan darah mengalir dari hidungnya. Saat Yohan membawanya ke rumah sakit, lebam lain ditemukan hampir di seluruh bagian tubuh Kakaknya. Bahkan pergelangan tangan kirinya terkilir dan dokter mengatakan tangan Yuanita pernah patah.
Bagaimana bisa dia membiarkan perempuan lain disakiti setelah menyaksikan itu.
Deritan pintu mengembalikan Yohan ke kenyataan. Dia memutar leher, sementara dua tangan bertumpu pada pagar tembok pembatas balkon. Lelaki itu tidak bisa menahan senyumnya yang semakin lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Match
RomanceWattpad Romance ID March Reading List Nggak sesuai kriteria! Kalimat yang sering diucapkan Yohan jika berurusan dengan masalah jodoh. Gara-gara kriteria yang dibuatnya Yohan malah terpuruk karena patah hati. Perempuan yang menurutnya memenuhi kriter...