Bab 52. Perfect Photograph

72 11 0
                                    

Bismillah,

 "Ven." Yohan berdiri lalu menghampiri Venita yang baru setengah jalan menuju meja. "Gue punya kabar bagus," tambahnya sambil menggamit tangan sang manajer.

Sedangkan Venita masih tertegun. Datang ke kantor di lantai dua dan disambut Yohan dengan senyum lebar adalah kejutan. Mas Boss memang biasanya memimpin rapat dua kali dalam seminggu, tapi jarang-jarang dia datang sepagi ini.

Dengan gerakan kaku Venita duduk setelah Yohan menarik kursi untuknya. Lelaki itu masih dengan ekspresi semula. Mata yang menyorotkan sinar bahagia ditambah senyum puas.

"Lu mau minum dulu? Kopi, gue mintain kopi sama Bagas, oke?" tawarnya.

"Hm ... iya ... boleh, Mas." Venita mulai menenangkan diri. Meletakkan sling bag dan melepas lalu menyampirkan jaket di punggung kursinya setelah Yohan pergi. Gerakannya tanpa semangat ketika mulai menyalakan laptop. Dua tangannya menopang dagu, dan matanya memandang jauh ke area persawahan yang terlihat dari jendela di dekat kursinya.

Seminggu ini dia sudah berjibaku dengan perang yang sangat melelahkan. Semakin sulit karena Yohan semakin menempel padanya. Lelaki itu memang terlihat bingung tetapi semangatnya terbaca jelas. Venita tahu, Mas Bossnya sedang mencari solusi dari masalah finansial Semilir Angin.

Mereka melewatkan momen-momen yang menyenangkan selama seminggu ini. Pendekatan Yohan pada Prisa, kedatangan lelaki itu untuk bertemu Ayah Venita dan waktu yang mereka habiskan berdua. Semua itu membuat semakin sulit untuk Venita membuat keputusan dan melepaskan Yohan. Rencananya untuk memberi jarak pada Mas Boss gagal total. Dia tahu hatinya lemah jika sudah berhadapan dengan Yohan.

Lalu hari ini Yohan kelihatan begitu bersemangat. Dengan kekhawatiran menggunung Venita menebak penyebabnya.

Venita melangkah memasuki lobi sebuah hotel di tengah kota. Kulot berwarna ungu dan blus putih membalut tubuhnya. Titik-titik keringat menghiasi kening yang tidak tertutup pashmina. Hari itu panas. Langit berkilau disapu garangnya sinar matahari. Hembusan lemah angin yang melewati daun-daun pohon pucuk merah seperti mengibarkan bendera putih. Menyerah, tidak sanggup melawan cuaca hari itu.

Sedikit bernapas lega merasakan hembusan pendingin ruangan yang menyambutnya. Venita langsung menuju lift dan menekan angka lima. Sesuai dengan petunjuk yang dibacanya. Dia sampai di tujuan tanpa kesulitan.

Sedetik sebelum lift berhenti, Venita merapikan hijabnya. Mengatur napas berikut detakan menghentak di jantungnya. Lalu berjalan tegap. Dia disambut ruangan luas bernuansa cokelat dan abu-abu. Jendela-jendela berbentuk persegi panjang dibuka lebar. Menyajikan pemandangan pegunungan yang menyejukkan.

Anehnya, perasaan resah malah semakin merangkum Venita. Dari kejauhan dia melihat lelaki itu tersenyum kaku. Hari ini lelaki berusia 60 tahunan itu mengenakan kemeja putih dan celana jeans biru pudar. Wajahnya dihiasi cambang yang seolah sengaja dibiarkan, membuatnya terlihat semakin mirip dengan Yohan.

"Silakan duduk," kata Erizal.

Tidak menjawab, Venita menarik kursi lalu menghempaskan tubuhnya hati-hati. Bibirnya menyunggingkan senyum kaku, sengaja tidak menutup-nutupi suasana hatinya. Kepandaiannya menutupi perasaan hari ini tidak dipertontonkan. Keputusan yang diambilnya terlalu berat untuk sekadar ditutupi.

"Kamu kelihatan ... ya kurang baik?!" ucap Erizal sambil menggerak-gerakkan satu tangannya.

"Saya baik-baik saja. Bisa kita langsung ke intinya?" balas Venita tanpa basa-basi.

Erizal terkekeh. "Seandainya keadaan berbeda, saya pasti akan memilih kamu sebagai menantu. Saya suka. Kamu punya ciri khas," puji Erizal.

Senyum getir Venita tercetak. Merasa miris dalam hati karena pujian Erizal malah membuatnya semakin gelisah. Sudah cukup dia bergulat dengan dirinya seminggu ini. Melihat Semilir Angin yang seperti pasien berpenyakit kronis dan Yohan yang nyata sekali sedang buntu.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang