Bab 12. Saving Kania

217 47 5
                                    

Bismillah,


 "Mas Yohan." Kania membuka pintu. Lalu melambaikan tangan menyapa Venita dan Rozi yang sedang berdiskusi masalah konten sosial media. "Hai, Mbak. Sorry, aku kira di sini nggak ada orang." Gadis berkemeja warna broken white itu tersenyum tanpa dosa.

"Mestinya ketuk pintu dulu, kan." Rozi yang menjawab dengan ketus. Wajahnya tidak senang.

"Udah ketuk pintu, kamu aja yang nggak dengar," jawab Kania cuek. "Mas Yohan mana?"

Venita dan Rozi saling menatap. Berikutnya Rozi berdecak, tidak habis pikir dengan tingkah Kania. Chef baru ini memang cekatan dan rajin, sayang tingkahnya kurang menyenangkan.

"Mbak Venny, Mas Yohan ke mana, sih? Ini aku udah susah-susah baking lemon cheese cake-nya. Biar Mas Yohan nyicipin dulu, kan," cerocos Kania.

"Emang nggak bisa nanti gitu, Mbak Kan? Ini kita lagi kerja,loh," sembur Rozi.

"Ya nggak bisa. Keburu nggak enak cake-nya." Kania menyisir ruangan itu dengan matanya. Kentara sekali sedang mencari Yohan. Mengabaikan Rozi yang tampangnya semakin kesal.

Venita menghembuskan napas. Menyadari detakan resah di jantungnya karena Kania. Beberapa minggu ini dia terganggu dengan Kania dan tingkahnya yang tidak tahu malu. Gadis berkulit eksotis itu menunjukkan ketertarikan pada Yohan tanpa malu-malu.

Dalam hati Venita mengakui dia cemburu. Sekaligus khawatir Yohan akan membalas perasaan gadis itu.

"Mbak, kamu mending turun dulu, deh. Nanti lah ngasikan cake-nya. Nggak urgent juga, kan," sela Rozi. Raut wajahnya semakin masam.

Kania memberengut mendengar itu, tapi sama sekali tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah dia berjalan masuk, lalu menghempaskan tubuh ke sofa. Sofa tempat Yohan biasanya menggalau. "Ya udah, aku tunggu di sini aja." Kania meletakkan cake di meja. Lalu bersedekap dan menyilangkan kakinya. Membiarkan pahanya yang mulus terekspos.

"Kania." Venita akhirnya bersuara. Sebenarnya lebih merasa terganggu daripada ingin menolong Kania. "Aku panggilkan Pak Yohan. tunggu di sini," katanya tegas. Tanpa menunggu jawaban, Venita melangkah ke arah balkon. Tak lama dia kembali dengan Yohan mengekor di belakangnya.

Mas Boss juga kelihatan tidak senang. Maklum tadi Venita baru melaporkan kalau jumlah pengunjung belum naik signifikan. Yohan khawatir kalau kenaikan tidak terjadi, dia terpaksa harus meminjam uang pada Ayahnya untuk membayar fix cost.

"Ada apa?" tanya Yohan sambil menggerakkan dagunya.

Ekspresi kesal Kania langsung berubah 180 derajat. Senyum lebarnya merekah. "Mas, ih ke mana aja sih seharian baru nongol?" Dia berjalan ke arah Yohan setelah menyambar cake di meja. "Ini tester lemon cheese cake-nya. Cobain, deh." Kania berdiri menghadap Yohan dengan sendok berisi sepotong cake yang diulurkan ke mulut Yohan.

"Nggak usah disuapin, gue bukan balita," sahut Yohan ketus. Sebenarnya dia juga risih dengan Kania yang menurutnya 'over attentive'. Yohan meraih piring kecil berisi cake lalu duduk di sofa. Tanpa diperintah Kania mengikutinya.

Gadis itu duduk begitu dekat dengan Mas Boss yang kelihatan bete. Celakanya, Kania terlihat biasa saja. Bahkan senyum-senyum melihat Yohan mencicipi cake.

"Enak. Udah, kan?! Lu bikin yang banyak, pajang di etalase. Biar pengunjung yang datang makin banyak. Ngerti?" sungut Yohan.

Enak tapi buat gue kurang soft. Terlalu manis dan krimnya kurang nendang. Bukan selera gue. Mungkin Venita bisa menilai.

Yohan menyingkirkan krim yang masih menempel di sudut bibirnya. rentetan kalimat untuk menilai cake yang disodorkan Kania masih memenuhi pikirannya.

"Mas, enak itu bisa digambarkan lebih spesifik, kan?" Kania masih bertahan dengan senyum menggoda.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang