Bab 30. Petikan Gitar Venita

158 33 0
                                    

Bismillah,

Seperti kebiasaannya, Venita masih membuka sedikit jendelanya. Sudah tengah malam dan gerimis lembut membasahi pepohonan di luar. Masih melamun di depan laptop yang menyala, keresahan menjalari hatinya. Urusan kafe yang masih belum menemukan titik terang, serta kado Andi saat ulang tahun Mamanya.

Dia menyalahkan dirinya karena selama ini tidak menetapkan batas dengan Andi.

Venita luar biasa gugup saat itu. Dia melirik Yohan yang berdiri agak jauh dari keramaian. Lelaki itu juga sedang melihatnya. Tatapan matanya tidak ramah. Seolah ingin memakan Venita hidup-hidup. Tidak mengerti mengapa Yohan seperti murka, Venita semakin gugup. Ingin menolak kado dari Andi, tapi tidak mungkin itu dilakukan. Di bawah puluhan pasang mata yang memancarkan sorot bahagia, termasuk Amelia.

Jari Venita bergerak di keyboard. Masih browsing melihat-lihat kafe dan meneliti konsepnya. Ada sekitar seribu kafe di Malang. Dengan berbagai konsep dan gaya promosi. Demi menyelamatkan Semilir Angin dan mencurahkan kegalauan dia memilih bekerja walau sudah larut malam.

Selang beberapa menit Venita memijit pelipisnya. Teringat lagi peristiwa ketika Andi memberinya kado. Dia beranjak dari kursi kerja, lalu beralih ke rak dengan dua laci tempatnya menyimpan kosmetik. Ditariknya laci nomer dua. Tangannya memegang kotak kado dengan seuntai gelang dari Andi.

Menghela napas kasar, Venita meletakkan gelang itu begitu saja di rak. Momen itu diulang lagi.

"Aku ... harap kamu ... menerima ... gelang ini, Ven. Ini gelang yang sama kaya punya Mama."

Senyum tegas khas Andi terbit. Membuat Venita gelagapan. Ini senjata makan tuan. Dia memilih gelang yang disukainya untuk Mamanya Andi, tetapi malah Andi ikut memberinya gelang yang sama.

Dia tidak menuduh Andi menjebaknya. Lelaki itu sepertinya ingin mengirimkan kode kalau akan melangkah ke tahap yang lebih serius.

Dalam hati Venita menggumamkan kalimat penolakan yang dirasanya tidak akan menyinggung. Lalu, matanya menyapu sekitar. Puluhan pasang mata sedang tertuju padanya dan pada Andi. Dia menoleh ke sebelah kanan. Amelia menyentuh bahunya, tersenyum tulus dan mengangguk kecil.

Lalu sembunyi-sembunyi Venita mengarahkan mata pada Yohan. Semakin salah tingkah karena sorot mata tidak bersahabat dari sang boss.

"Mama, sini Prisa pasangin. Prisa sayang sama Om Andi. Mama juga sayang sama Om Andi, kan?"

Bisikan Prisa menyadarkannya. Jantungnya berdetak semakin cepat mendengar kalimat putrinya yang terasa seperti harapan.

Tanpa menjawab Venita mengulurkan lengannya. Berharap semoga gemetar yang merambat di lengannya tidak kentara. Dia mengangguk kaku lalu tersenyum kecil.

"Iya, sayang." Venita mendongak, memandang Andi yang terlihat berbinar-binar. "Makasih ... Mas."

Ketika dia mengarahkan matanya lagi ke sudut yang sedikit sepi itu, Yohan sudah tidak ada. Venita menelan ludah dengan susah payah. Memikirkan bagaiman akan keluar dari situasi rumit ini.

"Om Andi, Prisa mau main dulu."

Venita terkesiap mendengar putrinya mengigau. Pikirannya yang tadi tertuju ke syukuran ulang tahun Amelia langsung berakhir. Napasnya sedikit memburu mendengar ucapan Prisa. Putrinya begitu menyayangi Andi, bahkan sampai membawa lelaki itu dalam tidurnya.

Dengan lelah, Venita bangkit menuju laptop-nya. Mematikan benda itu, lalu mengambil gitar yang dulu sering dimainkannya. Ketika galau dan sedih karena kondisi di dalam keluarganya dan tekanan Vanessa, dia sering memetik alat musik itu. Menyanyikan lagu sedih atau sekedar memainkannya.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang