Bab 42. You And I Are Now Us

100 10 0
                                    

Bismillah,

Venita masih berdiri di depan pagar yang tertutup, walaupun gerimis mulai merembes dan membuat hijabnya basah. Memerhatikan rumah berlantai dua dengan desain kontemporer itu, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan. Setelah memastikan kalau dia lebih tenang, jarinya yang mulai kedinginan menekan bel.

Langit siang itu dipenuhi gumpalan awan kelabu. Sejak subuh gerimis sudah turun. Titik-titik air terlihat di mana-mana.

"Mau ketemu siapa, Mbak?" Seorang perempuan berdaster batik dan jilbab instan muncul di balik pagar.

"Saya mau ketemu Mas Yohan. Sudah janjian," terang Venita sambil merapikan jilbabnya. Dalam hati meralat ucapannya. Dia tidak memberitahu Yohan kalau akan datang. Alamat rumah Yohan didapatkan dari curriculum vitae Mas Boss. Venita memiliki data lengkap semua yang bekerja di Semilir Angin termasuk Yohan.

"Silakan masuk, Mbak." Perempuan itu tersenyum ramah dan cepat-cepat membukakan pagar.

Setelah berterima kasih, Venita menuntun motornya ke halaman yang luas dan ditata apik. Mengagumi rumah Yohan dalam hati, membuat Venita sedikit minder. Mas Boss-nya kaya raya terlepas dari kesulitan di Semilir Angin. Berbeda jauh dengan hidupnya yang sederhana.

Tidak berapa lama, Venita sudah berada di ruang tamu yang terasa seperti ruang keluarga. Seraya merapatkan cardigan bunga-bunganya, perempuan itu mengamati tempatnya berada. Warna putih dan abu-abu mendominasi ruangan berlantai kayu itu. Tempat duduk dengan sofa putih dan empat kursi single seat abu-abu diatur di dekat pintu kaca ganda yang menghadap taman kecil. Venita menangkap sepasang kursi dan meja kayu bundar ditempatkan di dekat jendela Perancis yang juga mengarah ke taman. Sebuah rak putih dengan pot-pot berisi sukulen diletakkan di depan tempat duduk utama.

Detak jantung Venita mulai teratur. Terlepas dari rasa minder, entah kenapa dia merasa yakin pada Yohan. Teringat wajah babak belur lelaki itu, rasa percaya yang tadi sempat dilupakan mulai mengisi ingatan Venita.

"Assalamualaikum."

Lamunan Venita langsung berakhir. Dia mengarahkan pandangan ke asal suara lalu tersenyum. "Waalaikumsalam, saya ...."

"Venita, kan?" Yuanita mengulurkan tangan dan tersenyum hangat. "Seneng banget akhirnya bisa ketemu langsung."

Venita menerima uluran tangan perempuan berhijab di depannya. Tidak disangka Yuanita malah memeluknya ringan. "Aku Yuanita, kakak sulungnya Yohan," katanya dengan ekspresi senang yang tidak disembunyikan.

"Oh, Maaf saya baru sekali ini ketemu Mbak."

"Santai aja, memang baru ditakdirkan ketemu sekarang." Yuanita tergelak pelan. "Duduk yuk. Yohan masih di atas. Aku belum kasih tahu kalo kamu datang."

"Kalo Mas Yohan masih istirahat nggak usah diganggu nggak apa-apa, Mbak. Saya ... sebenernya enggak bilang mau ke sini," Venita menjelaskan dengan sedikit ragu.

Yuanita menggeser duduknya, mendekat lalu sedikit berbisik pada Venita. "Aku udah feeling kalo kamu yang datang pas Bi Warni bilang tadi. Sengaja aku nggak langsung manggil Yohan. Biar surprise dikit lah," katanya dengan raut geli. "Dia nggak tidur, kok. Paling juga lagi mikirin kamu."

Wajah Venita memerah mendengar itu. Tidak menyangka kalau Yuanita sudah mengetahui hubungannya dengan Yohan. Belum sempat Venita menyahuti ucapan Yuanita, ponselnya berdering.

Mata Venita membola melihat nama yang tertera di layar. Dia tertegun dengan perasaan berkecamuk.

Andi Fauzan is calling.

Sejenak Venita ragu. Andi belum meneleponnya sejak hari minggu kemarin. Lelaki itu hanya mengirim pesan, menanyakan kabar Prisa dan kabarnya. Andi rutin melakukan video call khususnya jika kangen Prisa, rupanya perkelahian dengan Yohan berdampak juga pada kebiasaannya.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang