Bab 40. Taking The Risk

266 31 1
                                    

Bismillah,

Saya ... juga mencintai Mas Yohan.

Kalimat itu sederhana. Diucapkan dengan lirih dan tanpa nada manja berlebihan. Ucapan yang terdengar sangat Venita.

Hanya begitu saja dan Yohan sudah berjingkrak bahagia. Dia bukan tipe orang yang suka menafsirkan simbol-simbol. Lebih dari itu, Yohan selalu mengejar kepastian. Walaupun kepastian itu hanya serangkai kata sederhana yang diucap lirih. Itu sudah cukup.

Yohan punya cukup alasan untuk secepatnya maju. Merebut Venita dari Andi.

Kegalauan yang sejak tadi menjebaknya dalam malam kelabu sudah hilang. Walaupun kedinginan diguyur hujan, Yohan merasa hatinya hangat. Tanpa ragu dia melangkah, mendekati Venita yang salah tingkah.

Mengulurkan tangannya untuk meraih jemari Venita dan merangkumnya. Perempuan itu sedikit tersentak karena tangan Yohan sangat dingin. Lalu, tangannya yang lain membungkus tangan Yohan dan menggosoknya pelan.

"Mas, kamu kedinginan. Cepet pulang gih, nanti sakit." Kini Venita mengangkat satu tangan. Menyapu titik-titik hujan di wajah Yohan. "Maaf, aku nggak bisa ngajak kamu masuk. Sudah malem banget."

Bibirnya yang kedinginan sulit digerakkan. Tetapi Yohan memaksakan sebuah senyum. Kekhawatiran Venita entah kenapa begitu tulus. Tidak palsu dan dibuat-buat. Yohan sampai memaki dirinya karena luput memerhatikan perempuan seistimewa Venita.

Pantas saja Andi mati-matian mengejar sang manajer. Perempuan ini jauh di luar kriterianya. Sebaliknya dia melampaui kriteria-kriteria yang dulu dibuat Yohan.

Menggeleng, Yohan lalu mengangkat tangan Venita yang masih dalam genggamannya. Mendekatkan tangan mungil itu ke bibirnya. Mengecup lama dan dalam. Berat rasanya untuk melepaskan, tapi Yohan tahu tubuhnya perlu istirahat. Siksaan malam minggu ini sangat berat sehingga dia kehilangan tenaga.

Kalau mau maju menghadapi Andi, dia harus mengisi ulang tenaganya. Berusaha untuk tetap sehat dan waras sehingga bisa merancang langkah selanjutnya.

"Gue ... nggak apa-apa. Cuma perlu lihat elu. Mastiin kalo elu cinta sama gue," gumam Yohan.

Venita diam. Hanya sorot matanya yang bicara.

"Oke, gue balik ya. Tapi lu harus janji sama gue."

"Janji apa, Mas?"

"Janji lu bakal milih gue. Jangan ... milih Andi, please."

Yohan melihat mata Venita membulat. Lalu perempuan itu mengangguk yakin.

"Jangan tinggalin gue apa pun yang terjadi, Ven. Gue minta maaf kalo sebelum ini gue tolol. Gue juga banyak nyakitin elu." Bibir Yohan kembali mengecup jemari Venita. Seandainya bisa, sudah pasti dia akan melumat bibir mungil berwarna peach itu. Tapi Yohan sadar, perempuan yang mendapat hatinya ini sangat menjaga diri.

Satu jari Venita menempel di bibir Yohan. Menghentikan gerakan agresif lelaki itu. Ketika Yohan memandangnya, Venita tersenyum dan menggeleng kecil. "Mas Yohan juga janji nggak akan nyakitin saya dan Prisa. Saya ... pernah gagal, Mas."

"Gue emang brengsek, Ven. Tapi ... lu bisa percaya gue." Tidak bisa menahan diri, Yohan menghujani tangan perempuan yang dicintainya dengan kecupan. Lalu, memberanikan diri mendekat dan mengangkat dagu Venita. Dorongan untuk menyentuhkan bibirnya dengan milik Venita begitu besar. Perlahan Yohan menunduk. Menipiskan jarak di antara mereka.

Tapi, tangan kecil itu menahan dadanya. Menghentikan keinginan Yohan yang nyaris tidak tertahankan. Dia menemukan Venita tersenyum lembut, menggerakkan satu jarinya dengan anggun. "Belum waktunya, Mas," katanya malu-malu.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang