Bab 56. Got A Clue

87 12 0
                                    

Bismillah,

Yohan memacu mobilnya ke sebuah supermarket yang sering dikunjunginya dengan Venita. Terpaksa dia pulang dulu dan menukar motor dengan Expander untuk keperluan belanja. Dalam hati dia membatin betapa ringan tugasnya sebelum Venita pergi.

Di sebelahnya Bagas duduk dengan mata yang tidak berhenti melirik Mas Boss. Si barista ikut mendampingi karena tidak tega membiarkan Yohan pergi sendirian.

Mereka sampai di tempat tujuan tanpa halangan. Tanpa banyak bicara Yohan keluar dari mobil dan melangkah lebar menuju pintu masuk.

Kenangan membanjiri kepalanya dengan cepat. Rasanya dia melihat sosok Venita di mana-mana. Telinganya seolah menangkap suara tawa lembut sang manajer. Bahkan gerak gerik perempuan itu ketika mengedikkan kepala dan mengajaknya berjalan diputar berulang kali.

Yohan tertegun di pintu masuk. Dadanya seperti diremas. Sesak dan sakit. Dia tidak tahu bagaimana cara mengenyahkan bayang-bayang Venita yang masih kuat mencengkram ingatan.

"Bos." Panggilan Bagas mengakhiri lamunan Yohan. "Kayanya kita harus cepet-cepet," ucap Bagas sambil meringis dan melirik arlojinya.

Yohan tidak menjawab. Dengan kaku dia menarik trolley dan mendorongnya menuju area sayuran. Sepanjang melangkah Venita seperti ikut berjalan di sampingnya. Suara perempuan itu masih terekam dengan baik. Dan nada bicaranya yang selalu lembut berdenging di telinga Yohan.

Trolley Yohan berhenti, lelaki itu lalu memutar tubuhnya untuk menghadap Bagas. "Lu bacain apa aja yang dipesan Teguh," perintahnya.

Bagas buru-buru merogoh kantong celana dan mengeluarkan kertas yang mulai kusut. "Brokoli, wortel impor, sawi ... sawi patah?! Apaan, sih ini?! Tulisan Teguh kaya tulisan dokter begini," keluh Bagas dengan wajah ditekuk.

"Sawi putih dodol," kata Yohan setelah mengintip isi catatan. Tangannya meraih sayur yang dimaksud.

Bagas nyengir. "Iya, Bos. Maklum saya, kan, spesialis kopi. Kalo ilmu sayur mon maap saya nggak cerdas," kelitnya. Dalam hati bersyukur karena bisa sedikit mencairkan suasana. Dia bisa dengan jelas membaca suasana hati Mas Bos. Sejak Venita pergi tidak ada lagi senyuman di wajahnya. Kebahagiaan Mas Bos ikut lenyap bersama sang manajer.

"Gas, jangan ngelamun mulu. Bacain apa lagi yang mau dibeli," ucap Yohan tidak sabar. Dia tidak bisa berlama-lama di supermarket ini dan dikelilingi sosok Venita yang seperti datang dari segala arah.

"Oke, Bos," sahut Bagas dengan ekspresi jenaka. Berusaha memancing Mas Bos untuk tersenyum tapi gagal. Yohan hanya memasang raut dingin lalu mendorong lagi trolleynya.

Bagas mengikuti Mas Bos sambil memikirkan topik yang bisa memancing Yohan untuk bicara. Sejujurnya suasana kafe menjadi berbeda sejak kepergian Venita. Seluruh pegawai Semilir Angin merasakan hal yang sama.

Yohan memang menjadi lebih rajin sejak Venita tidak ada. Sayangnya, lelaki itu tidak membawa aura bahagia yang selama ini menjadi ciri khas mbak manajer. Teguh, Bagas dan beberapa staff kitchen sudah beberapa kali berunding, mencari cara untuk mengembalikan senyum Yohan.

"Bos, ini ada buah yang perlu dibeli juga," sela Bagas. Mencegah Yohan yang hendak berjalan ke arah area daging dan ikan.

Lelaki itu menghentikan langkah, lalu membelokkan trolleynya. "Buah apa?" tanyanya tanpa menatap Bagas. Dia mengeluarkan ponsel, dan menekan tombol kunci sehingga layar menyala. Matanya tertuju pada fotonya bersama Venita dan Prisa. Rupanya Yohan tidak tahan lagi dengan rindu yang mendesak dadanya. Tidak ada cara selain menatap foto itu dengan pandangan berkabut.

"Ndi, tolong ambilkan strawberry. Mama mau coba bikin smoothies."

Kepala Yohan langsung terangkat mendengar suara itu. Tidak jauh di depannya Amalia sedang berdiri mengarahkan matanya pada deretan buah impor yang dipajang di rak. Sedangkan Andi memegang trolley, dan sekarang sedang meraih buah yang dimaksud Ibunya.

Imperfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang